Selamat Datang
Mencoba Melukis Makna Dalam Deretan Aksara
Jumat, 18 Mei 2012
Pemilihan Kepala Daerah dan Lahirnya Birokrasi Galau
Dalam pentas pemilihan kepala daerah setiap calon berusaha melipatgandakan kemampuan mereka dalam memenangkan pertarungan yang mereka
hadapi. Dalam usaha memenangkan pertarungan ini mereka akan memaksimalkan
sumber daya yang mereka miliki termasuk menentukan aktor-aktor yang akan
memainkan peran-peran tertentu dalam pentas politik pemilihan kepala daerah.
Aktor-aktor yang menjalankan peran dan fungsi politik dalam pentas yang
memperebutkan kekuasaan ini bisa berasal dari manapun, tidak terkecuali oleh
mereka yang berada pada lembaga pemerintah. Karena inti dari politik adalah
kekuasaan maka sudah barang jadi kalau penggunaan cara apapun dalam memenangkan
pertarungan pemilihan kepala daerah akan penuh dengan intrik.
Ketika seorang aktor berhasil
memenangkan kompetisi pertarungan dalam proses pemilihan kepala daerah maka hal
pertama yang dilakukan pasca kemenangan adalah pembentukan rezim dibawah
pemerintah berkuasa. Pembentukan rezim ini tentu dilakukan dengan merekrut
orang-orang birokrat untuk diposisikan pada bagian tertentu dalam rezim yang
akan dibentuk. Pembentukan rezim ini tentu mengharuskan untuk merekrut
orang-orang yang menjadi kawan dalam proses perebutan kekuasaan. Penempatan
yang direkrut berdasarkan kesepahaman dalam perjuangan maupun dalam mendukung
calon yang sama tentu mereka akan menggeser posisi pendahulu mereka yang
dukungannya kalah dalam proses pertarungan.
Karena dalam proses perekrutan dalam
mengisi jabatan dalam birokrasi yang menggunakan mekanisme kedekatan dan
bantuan politik dalam proses perebutan kekuasaan, maka dalam proses pemilihan
akan mempengaruhi kinerja birokrasi karena orang dalam birokrasi hanya berusaha
bagaimana mempertahankan posisi jabatan mereka. Dan untuk mempertahankan
jabatan ini maka tentunya mereka dalam memberikan dukungan adalah kepada calon
yang memiliki kekuatan dan kemungkinan untuk memenangkan proses pertarungan.
Tapi ketika dalam proses pemilihan diantara para calon memiliki kekuatan yang
hampir imbang, tentunya birokrasi dengan orientasi mereka mempertahankan posisi
jabatannya dengan memberikan dukungan kepada calon kuat akan menjadi galau.
Mereka akan mendukung dengan desakan keraguan dalam diri mereka atas
kemungkinan lolosnya calon dukungan mereka. Dalam posisi galau seperti ini
seringkali para birokrat ini cenderung munafik dan menampakan wajah kembarnya dengan
berusaha mendukung dua calon.
Posisi pegawai negeri dalam proses
pemilihan kepala daerah seolah sebuah bencana dan akan benar-benar menjadi
bencana ketika mereka diharuskan untuk mendukung calon incumbent yang dalam
kalkulasi politik peluang untuk memenangkan pertarungan sangat kecil. Sementara
pada sisi lain posisi incumbet berhak untuk memaksa dan mempolitisasi birokrasi
agar menjatuhkan dukungan dan pilihan mereka pada calon incumbent. Sebagai
atasan tentu posisi incumbent dengan senjata jabatan dan mutasi tentu akan
sangat efektif untuk menekan posisi birokrat untuk tunduk pada keinginannya.
Selain itu doktrin untuk selalu taat dan tunduk pada perintah atasan tentu
menjadi alat yang ampuh bagi posisi incumbent untuk memberikan tekanan-tekanan pada birokrasi.
Ketika ketaatan dan
ketundukan pada pimpinan menjadi senjata dalam mempolitiisir birokrasi pada sebuah
pemilihan, maka tidak ada pilihan lain bagi birokrat untuk melibatkan diri
membantu dan menyukseskan calon incumbent agar menduduki kembali kursi
kekuasaan yang kedua kali. Ketidak siapan birokrat dalam mendukung calon
incumbent maka pilihan hanya satu non job buat mereka. Pada titik ini birokrasi
benar-benar menjadi galau, antara mempertahankan netralitas mereka dalam
birokrasi dengan mempertahankan posisi dan jabatan yang mereka sebagai elit
dalam pemerintahan.
Malang, 18 Mei 2012
Batas Impian
Segala sesuatu pasti memiliki batas maksimal yang memungkinkan untuk
tidak terlewati. Batasan ini kemudian menjadi standar baku yang menjadi patokan
sesuatu. Dalam hal impianpun memiliki batasan, sebuah popata lama yang saya
sukai mengatakan bahwa langit adalah batasan impianmu, langit adalah batasan
dari sebuah cita-cita. Mungkin popatah ini terkesan lebay dan dibesar-besarkan.
Tapi saya sepakat dengan popatah ini, hal senada juga pernah diungkapkan pleh
seseorang yang mengatakan bahwa bercita-citalah setinggi bintang walaupun nanti
kamu tidak mencapai bintang tapi kemungkinan besar kamu akan jatuh di bulan.
Benar tidaknya ungkapan-ungkapan ini tergantung bagaimana kita melihatnya, tapi
buat saya sekalipun mereka tidak mencapai impian mereka yang mengangkasa tapi
saya tetap memberikan rasa hormat. Paling tidak mereka telah mencoba menaiki
tangga langit impian mereka dan mereka sudah tidak menetap di bumi.
Malang, 18 Mei 2012
Minggu, 13 Mei 2012
Netralitas Semu Birokrasi Dalam Proses Pemilihan Kepala Daerah.
Setiap perayaan pesta demokrasi
pemilihan kepala daerah, tentunya para calon pemeran serta dalam proses perebutan
jubah ritual kekuasaan akan selalu meningkatkan sumber daya yang mereka miliki
dalam upaya memenangkan pemilihan kepala daerah. Dalam usaha meningkatkan
kekuatan itu, selain mengefektifkan kinerja mesin partai, tentu para pemeran
serta dalam pemilihan kepala daerah akan melirik birokrasi sebagai salah satu
mesin yang akan digunakan dalam proses pemenangan pertarungan kursi kekuasaan.
Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, mengingat birokrasi memiliki
kinerja organisasi yang hampir mirip dengan sistem kerja partai. Sehingga tidak
berlebihan ketika Weber mengungkapkan bahwa birokrasi adalah sebagai alat
kekuasaan bagi mereka yang menguasainya. Pendapat Weber ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Marx bahwa birokrasi merupakan instrumen yang
dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya
atas kelas-kelas sosial lainnya.
Merujuk pada pandangan Weber dan Marx diatas,
maka lalu birokrasi itu sendiri kemudian akan dijadikan sebagai alat kekuasaan
bagi mereka yang menguasainya. Alasan menjadikan birokrasi sebagai alat
kekuasaan bagi mereka yang menguasainya tentu menjadi alasan yang logis. Dimana
selama ini dalam sistem pemerintahan, yang paling dekat dengan masyarakat
sebagai pemilih (voter) adalah birokrasi. Kedekatan birokrasi dengan publik ini diamini
oleh Etzioni bahwa selama ini yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
banyak adalah birokrasi. Dan kerja-kerja birokrasi selama ini adalah
diperuntukan buat publik sehingga birokrasilah yang paling dekat dengan masyarakat
pemilih sekaligus memenangkan hati para pemilih. Sejalan dengan Etzioni, Hegel
mengungkapkan bahwa birokrasi sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara
negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Kedekatan ini kemudian membuat
birokrat memiliki akses yang bagus kepada masyarakat pemilih,
kedekatan-kedekatan ini yang kemudian
dimanfaatkan oleh para calon dalam memperebutkan posisi kepala daerah.
Untuk menghindari masuknya birokrasi
dalam sistem politik, maka pemerintah membuat peraturan dimana dalam sistem politik
kita menerapkan faktor netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah langsung. Netralitas birokrasi ini telah diatur dalam surat Keputusan
Komisi Pemilihan Umum (SK KPU) No. 35 Tahun 2004. Dalam surat keputusan
tersebut melarang bagi setiap pejabat negara untuk membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang
didasarkan pada pengaduan yang signifikan dan didukung bukti selama masa
kampanye. Aturan tentang netralitas birokrasi ini kemudian ditegaskan juga
dalam UU No, 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang kemudian
ditindak lanjuti dengan ancaman pemberian sanksi bagi para pegawai yang yang
terlibat dalam kampanye sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran MENPAN No.
SE/04/M.PAN/03/2004. Adanya aturan yang melarang birokrasi untuk terlibat dalam
politik bersifat mengikat yang harus dipatuhi oleh siapapun. Walaupun
aturan-aturan yang mengharuskan sikap nertalitas birokrasi dalam proses
pemilihan kepala daerah tapi peluang dilanggarnya aturan itu sangat besar.
Peluang dilanggarnya aturan tersebut tidak bisa ditahan ketika niat dalam
pemilihan kepala daerah didominasi oleh kepentingan hanya sekedar mengejar kekuasaan
itu sendiri dan bukan didasari oleh adanya niat yang luhur untuk benar-benar
melakukan pembangunan yang bisa memajukan masyarakat.
Dalam pendekatan transformasi ekonomi
terhadap politikpun tidak membiarkan
proses politik dalam pemilihan berjalan tanpa proses-proses pertukaran sebagaimana
metode pertukaran dalam ekonomi. Pelaku-pelaku dalam proses pertukan suara pada
pasar politik paling efektif dilakukan oleh birokrasi. Proses pertukaran
tersebut menjadi sangat efektif dilakukan oleh birokrasi karena selama ini
barang-barang publik sebagai alat transaksi politik dalam mendapatkan suara
pemilih disiapkan oleh para birokrat. Dimana barang-barang publik seperti
Bangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan lain sebagainya merupakat alat
transaksi politik yang cukup efektif dalam membeli suara para pemilih. Artinya
dalam pandangan ini uang bukanlah alat transaksi politik sebagaimana dalam
proses ekonomi murni. Kemampuan birokrasi dalam menyediakan barang-barang
publik yang benar-benar nilai manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat
tentu akan membuat masyarakat untuk mendengarkan keinginan birokrat. Mekanisme
pertukaran semacam ini adalah hal yang cukup rasional dalam sistem politik,
jadi ketika publik menjatuhkan pilihan mereka terhadap calon tertentu adalah
pilihan rasional buat masyarakat pemilih.
Selain masalah kedekatan antara
birokrat dengan masyarakat pemilih, ketiadaan mekanisme perekrutan jabatan
dalam birokrasi membuat para birokrat berusaha untuk memberikan bantuan
politiknya kepada calon tertentu dalam memperebutkan jubah ritual kekuasaan.
Karena hanya dengan cara seperti ini mereka juga bisa mempertahankan maupun
merebut posisi-posisi elit dalam sistem birokrasi. Walaupun para birokrat tidak
berusaha untuk merebut posisi elit dalam birokrasi tapi mereka akan tertarik
untuk ikut dalam permainan politik karena seringkali posisi dalam birokrat
ditentukan oleh hasil bargaining partai pendukung dalam proses pemilihan kepala
daerah. Sehingga jabatan elit birokrasi bukan lagi pemberian penguasa melalui
prosedur yang bijaksana dengan melihat kemampuan dan kecakapan, tapi jabatan-jabatan
tersebut merupakan hasil kompromi politis yang sudah tergadaikan sebelumnya
kepada para partai pengusung calon dalam pemilihan. Ketika permainan seperti
ini yang terjadi maka birokrat tidak akan nyaman dalam menjalankan rutinitasnya
karena mereka diintervensi oleh kekuatan politik yang menempatkan mereka pada
posisi elit dalam birokrasi. Model intervensi semacam ini yang kemudian
dikhawatirkan oleh Etzioni kalau akan menyebabkan sistem demokrasi tidak
berjalan.
Dalam sistem birokrasi saat ini memang
lemah dari sisi aturan, walaupun disatu sisi birokrasi dilarang berpolitik
namun pada sisi lain untuk mendapatkan jabatan dalam sistem birokrasi tidak
terlepas dari bantuan yang diberikan kepada para penguasa yang berhasil
menduduki jabatan. Jabatan dalam sistem birokrasi bukan jabatan yang didapatkan
karena dipilih sebagaimana jabatan politik yang lain seperti kepala daerah,
legislatif dan lain sebagainya. Tapi jabatan dalam birokrasi adalah jabatan
yang ditunjuk, sehingga mereka akan ditunjuk dan dipercayakan menduduki posisi
tertentu dalam birokrasi ketika ada bantuan mereka kepada penguasa terpilih,
baik dukungan materi maupun dukungan dalam politik. Pada titik ini akses
birokrasi akan terlibat dalam proses politik praktis karena ketiadaan aturan
dan mekanisme dalam perekrutan jabatan dalam sistem birokrasi yang ada saat
ini.
Kekuatan politik dalam mempengaruhi
mekanisme dalam birokrasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Persoalan
campurtangan politik dalam sistem birokrasi bukan hal baru, bahkan sebelumnya
sudah terjadi perdebatan tentang hal ini dimana ada argumen yang mengharuskan
adanya dikotomi antara politik dan birokrasi. Proses dikotomi ini tidak akan
pernah terjadi, mengingat jabatan kekuasaan diperoleh melalui mekanisme politik
karena yang menunjuk dan menentukan posisi dalam birokrasi ditentukan oleh
sistem politik. Ketika mekanisme politik memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan
mengangkat posisi dalam birokrasi maka dengan sendirinya sistem birokrasi itu
sendiri tunduk pada keinginan politik. Dalam hal ini politik dengan sendirinya
masuk dan mengepalai sistem birokrasi.
Malang, 13 Mei 2012
Selasa, 01 Mei 2012
Perjuangan Kaum Buruh
Marx dengan teorinya tentang ekonomi
politik menjadi seorang idiolog ketika partai buruh terbesar dunia dizamannya
meminta Marx untuk merancang program khusus untuk mereka. Kondisi ini kemudian
menjadikan pemikiran Marx menjadi ideologi perjuangan kaum buruh dunia. Menurut
Marx, sejarah kehidupan manusia ditentukan oleh materi yang kemudian muncul apa
yang disebut hak milik atas tanah sebagai modal dalam hidup. Pada ranah ini
materi merupakan alat tukar dan modal berupa tanah kemudian memunculkan
kelas-kelas dalam masyarakat yaitu kelas proletar dan kaum borjuis. Dalam
perjalanannya kelas borjuis berganti karakter menjadi kelas kapitalis dengan
munculnya revolusi industri, dimana pada tahap kapitalisme ini modal yang
dahulu berupa tanah, bibit, dan alatpertanian berganti dengan pabrik, dan mesin-mesin. Sejak itu berkuasalah kaum kapitalis di dunia sebaliknya kaum
proletar ganti karakter dari buruh tani menjadi buruh pabrik yang hakekatnya
sama-sama tertindas oleh kaum kapitalis.
Selama ini kaum buruh selalu
ditempatkan pada posisi yang sangat dirugikan. Mereka hanya menerima setiap
keputusan yang telah ditetapkan oleh atasan dimana mereka bekerja. Suara mereka
tidak pernah didengar, keinginan untuk hidup layak seolah tabuh buat mereka.
Penindasan terhadap kaum buruh telah berlangsung cukup lama. Sejak munculnya
sistem kapitalisme bukannya memberikan jalan keluar bagi selesainya eksploitasi
kaum buruh, malah sistem kapitalis menjadi nutrisi bagi maraknya eksploitasi
kaum buruh. Penindasan yang dilakukan oleh pemilik modal terhadap kaum buruh
kemudian menjadi bara perlawanan kaum buruh sendiri terhadap tuan mereka.
Penindasan terhadap kaum buruh ini tidak hanya terjadi di beberapa negara saja,
tetapi bentuk penindasan terhadap kaum buruh terjadi di hampir semua negara.
Banyak pejuang kaum buruh yang kemudian
bangkit melawan panindasan dan eksploitasi yang telah berlangsung berabad-abad
ini. Kisah perjuangan kaum buruh di indonesia mencatat nama Marsinah sebagai
pejuang buruh yang sangat menggemparkan. Marsinah menjadi pejuang kaum buruh
yang disegani, bahkan sepak terjangnya memperjuangkan kaum buruh pada upaya
pencapaian kesejahteraan nasib kaum buruh mengantarkannya pada kematian yang
hingga saat ini kematian Marsinah masih menyimpan sebuah tanda tanya besar.
Kematian marsinah tidak menghentikan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak
mereka untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Kematian Marsinah menjadi
api yang membara didalam dada kaum buruh untuk memperjuangkan apa yang menjadi
hak mereka. Karena Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan kaum
itu sendiri yang mengubahnya maka perjuangan kaum buruh untuk memperoleh
hak-hak mereka adalah hal yang wajar ketika perjuangan itu menjadi pilihan
mereka.
Perjuangan
kaum buruh tidak akan berhenti dalam menuntut hak mereka tidak akan berlangsung
mulus. Mereka dihadapkan oleh perlawanan terselubung para pemilik modal yang
mengokohkan proses eksploitasi dan penghisapan atas kaum buruh. Para pemilik
modal dalam melakukan perjuangan mereka, mereka berusaha melegalkan proses
eksploitasi mereka dengan melakukan intervensi maupun melakukan proses jual
beli pasal. Dengan melakukan kongkalingkong dengan para pembuat regulasi,
proses penghisapan kaum pemodal terhadap kaum buruh menjadi legal karena
dukungan regulasi. Proses kongkalingkong seperti ini yang tidak diramalkan oleh
Marx, sehingga ramalannya yang melihat bahwa proses kapitalisme akan hancur
dengan sendirinya menjadi gugur karena kelangsungan sistem kapitalisme hingga
saat ini adalah kemampuan sistem kapitalisme untuk berubah seiring kemajuan
zaman seperti yang diungkapkan oleh Lenin bahwa kapitalisme sangat luwes dan pintar, bisa
berkelit dengan sukses mencegah kebangkrutannya. Selanjutnya Lenin melahirkan
teori imperialism yaitu konsep penjajahan yang dilakukan negara –negara
kapitalis terhadap negara-negara berkembang. Kapitalis tidak bangkrut karena ia
melakukan imprealisme (neokolonialisme) ke negara berkembang hingga memberikan
keuntungan baginya berupa, perluasan dan penciptaan pasar baru, memperoleh
sumber bahan mentah baru dan murah, memperoleh buruh dengan pembayaran upah
murah, dan memindahkan konflik buruh kapitalis ke daerah-daerah jajahan.
Ketika
sebuah rezim sudah tidak peduli dan tidak lagi memperjuangkan nasib kaum buruh,
maka nasib kaum buruh harus diperjuangkan oleh mereka. Keputusan berada
ditangan kaum buruh sendiri, apakah mereka akan merebut kesejahteraan dan
keadilan mereka sendiri dari cengkeraman kaum kapitalis ataukah diam dalam
keterpasungan atas penindasan yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Berdiam diri
dan tunduk menjadi budak kaum kapitalis tidak akan membuat nasib kaum buruh
menjadi lebih baik. Sejatinya kaum buruh harus terus memperjuangkan nasibnya
agar setara dengan kehidupan manusia lainnya. Untuk itu kaum buruh harus
bangkit memperjuangkan pemerdekaan kaum buruh dari penindasan kaum kapitalis.
Selamat hari Buruh Internasional....
Malang, 01 Mei 2012
Rentaro Taki, Jenius Muda Yang Tidak Pernah Mati
Dalam persoalan seni musik kita hanya mendengarkan sesuatu yang dianggap enjoy untuk sekedar
dinikmati tanpa memahami makna dalam setiap apa yang didengarkan. Ini adalah
kesalahan yang paling sering dilakukan oleh siapapun, karena ketidak mampuan dalam memahami pesan yang disampaikan dalam musik akan memudarkan kesan
dari musik itu sendiri. Seorang musisi hebat tidak pernah menciptakan
untaian notasi balok yang memukau tanpa melakukan penelusuran panjang
kisah-kisah yang kelak akan mewarnai setiap notasi pada baris bar musik yang mereka ingin
ciptakan.
Rentaro Taki dalam menciptakan lagu kojo no tsuki tidak serta merta nada yang ia hasilkan keluar begitu saja tanpa ada sentilan kisah yang melatar belakangi tatanan nada yang ia ciptakan. Lagu yang ia tetaskan pada baris bar notasi musik sangat di inspirasi oleh reruntuhan kastil Okajyo. Kepedihan Rentar dalam melihat puing-puing kastil Okajyo telah benar-benar membangkitkan ruang seni dalam dirinya yang kemudian mencoba mengubah puing-puing kastil Okajyo menjadi bait lagu yang sangat mempengaruhi masyarakat Jepang.
Rentaro Taki dalam menciptakan lagu kojo no tsuki tidak serta merta nada yang ia hasilkan keluar begitu saja tanpa ada sentilan kisah yang melatar belakangi tatanan nada yang ia ciptakan. Lagu yang ia tetaskan pada baris bar notasi musik sangat di inspirasi oleh reruntuhan kastil Okajyo. Kepedihan Rentar dalam melihat puing-puing kastil Okajyo telah benar-benar membangkitkan ruang seni dalam dirinya yang kemudian mencoba mengubah puing-puing kastil Okajyo menjadi bait lagu yang sangat mempengaruhi masyarakat Jepang.
Walaupun karya yang lahir dari Rentaro tidak sebanyak yang dilahirkan oleh kitaro tapi Rentaro telah mewariskan sebuah lagu yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat jepang. Meskipun Rentaro Taki meninggal pada usia muda 24 tahun, tapi ia meninggalkan salah satu lagu yang paling dicintai oleh masyarakat Jepang Begitu berpengaruhnya lagu ini hingga dizaman perjuangan, untuk menghibur dan membangkitkan semangat tentara jepang, para pembesar militer saat itu sering kali menyewa artis papan atas jepang dizamannya hanya untuk menyanyikan karya Rentaro.
Secara umum lagu ini mengisahkan tentang kondisi dimana Kastil Okajyo sebelum
menjadi reruntuhan. Tapi dalam lagu ini menggambarkan suasana kesibukan dalam kastil
Okajyo yang sangat berkesan. Dimana kesannya begitu melekat saat aktifitas
dalam kastil disandingkan dengan suasana malam dimusim semi. Rentaro
menggambarkan dengan jernih hingga pesta bunga yang diadakan pada menara tidak
luput dalam syair lagunya. Tidak hanya kegiatan pesta dalam kastil yang
dikisahkan dengan jelas tapi saat bulan yang merangkak dari atas pinus tua.
Gambaran-gambaran ini kemudian ditransmutasikan oleh Rentaro dengan zaman
dimana ia berada. Yang kemudian dalam syairnya mempertanyakan tentang
kebahagiaan masa lalu yang telah sirna, “tapi sekarang dimanakah kecerahan hari
lampau”.
Kecerahan masa silam yang digambarkan oleh Rentaro memudar oleh sinar bulan yang memacar dari setiap pedang yang terhunus. Pertikaian dalam kastil yang digambarkan oleh rentaro telah mewariskan kisah, dan kastil Okajyo telah membuat sejarahnya sendiri. Dalam lantunan nada ¼ yang dibuat oleh Rentaro, kisah kehidupan masa silam dalam kastil Okajyo tetap hidup dalam hati masyarakat Jepang hingga saat ini. Rentaro sang jenius muda tidak akan pernah mati, tapi dia akan terus hidup dalam melodi ingatan setiap orang Jepang...
Kecerahan masa silam yang digambarkan oleh Rentaro memudar oleh sinar bulan yang memacar dari setiap pedang yang terhunus. Pertikaian dalam kastil yang digambarkan oleh rentaro telah mewariskan kisah, dan kastil Okajyo telah membuat sejarahnya sendiri. Dalam lantunan nada ¼ yang dibuat oleh Rentaro, kisah kehidupan masa silam dalam kastil Okajyo tetap hidup dalam hati masyarakat Jepang hingga saat ini. Rentaro sang jenius muda tidak akan pernah mati, tapi dia akan terus hidup dalam melodi ingatan setiap orang Jepang...
Malang,
27 Maret 2012
Minggu, 11 Maret 2012
Transaksi Alat Kelamin di Gang Dolly
Sketsa sosok Dolly Khavitz
Dunia prostitusi
telah menjalani kehidupan yang panjang, walaupun sampai saat ini belum pasti
sejak kapan praktek prostitusi ini muncul. Sebuah referensi menuliskan bahwa
daratan italy abad ke 14 dan 15 seakan berada dalam pelukan aktifitas pelacuran
dimana maraknya aktifitas pelacuran ini dipicu oleh pernyataan dewan agung pada
saat itu mengeluarkan statemen bahwa prostitusi masuk kategori benar dan
keberadaan pelacuran diperuntukan bagi dunia. Tidak mengherankan kalau
pelacuran menjamur di Italy sejak statemen itu dikeluarkan. Pada setiap sudut
kota maupun pusat kota italy penuh dengan rumah bordil. Bukti sejarah telah
memperlihatkan bahwa kota pompei di italy ternyata
merupakan pusat kemaksiatan terbesar. Kota pompei dipenuhi oleh lokasi-lokasi
perzinahan. Begitu banyaknya hingga jumlah rumah-rumah pelacuran tidak
diketahui. Dimana organ-organ kemaluan dengan ukuran seperti aslinya
bergantungan pada pintu-pintu rumah bordil yang ada di kota pompei.
Italy seolah tidak terpisah dari kehidupan prostitusi, seorang pelacur kemudian menjadi walikota disalah satu di kota italy hanya karena mengusung isu bahwa dia akan menjadikan kotanya sebagai kawasan prostitusi. Baru-baru ini dalam sebuah situs mengungkapkan bahwa salah seorang calon peserta pemilihan walikota salah satu kota di italy adalah seorang pelacur. Untuk memenangan pertarungan dalam pemilihan walikota, sang pelacur bukannya menyampaikan orasi ilmiah yang penuh dengan program-program yang memukau tapi dia akan melakukan tarian telanjang dihadapan pendukungnya. Bahkan dia berani menantang rivalnya yang juga dari provesi yang sama untuk bertanding tari telanjang dihadapan masyarakat italy.
Italy seolah tidak terpisah dari kehidupan prostitusi, seorang pelacur kemudian menjadi walikota disalah satu di kota italy hanya karena mengusung isu bahwa dia akan menjadikan kotanya sebagai kawasan prostitusi. Baru-baru ini dalam sebuah situs mengungkapkan bahwa salah seorang calon peserta pemilihan walikota salah satu kota di italy adalah seorang pelacur. Untuk memenangan pertarungan dalam pemilihan walikota, sang pelacur bukannya menyampaikan orasi ilmiah yang penuh dengan program-program yang memukau tapi dia akan melakukan tarian telanjang dihadapan pendukungnya. Bahkan dia berani menantang rivalnya yang juga dari provesi yang sama untuk bertanding tari telanjang dihadapan masyarakat italy.
Saat ini pelacuran bukan lagi milik italy, tapi dunia prostitusi telah benar-benar merambat jauh hingga mencapai daerah manapun didunia ini. Statemen yang seolah melegalkan dunia prostitusi saat ini walaupun berbeda dengan pernyataan dewan agung bangsa italy abad 14 dan 15 namun statemen itu sedikit mirip. Saat ini statemen yang sering di perdengarkan bahwa kemajuan sebuah daerah selalu disertai oleh maraknya dunia prostitusi. Statemen ini kemudian memicu menjamurnya kawasan prostitusi di kawasan perkotaan. Perkembangan kawasan prostitusi yang sebagaimana di berkembang di Italy yang kehadirannya diperuntukan bagi dunia seolah tidak terbendung. Di indonesia saat inipun seolah tidak lepas dari dunia prostitusi. Dikota-kota besar indonesia tidak lepas dari dunia prostitusi.
Oleh seorang perempuan peranakan jawa pilipin bernama Dolly khavitz kemudian mendirikan sebuah kawasan prostitusi di kota surabaya. Awalnya dolly menikah dengan seorang pelaut yang kemudian menghianatinya dengan melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain. Kekecewaan dolly terhadap suami yang menghianatinya kemudian membuat ia tidak percaya dengan laki-laki sehingga ia memilih untuk melakukan pernikahan sejenis. Sampai saat ini kawasan prostitusi terbesar di indonesia masih menggunakan nama dolly yang diambil dari nama kreatornya dolly khavitz. Dolly adalah sebuah kawasan prostitusi terbesar dikawasan asia yang nama besarnya dikenal hingga kawasan asia tenggara yang tenar dengan nama Dolly. Kawasan ini pada awalnya adalah kawasan pinggiran kota surabaya yang kemudian kawasan dolly ini dipindahkan ketempatnya saat ini karena perkembangan kota surabaya telah membuat kawasan dolly berada di pusat kota.
Apa yang menjadi kreasi dolly ini benar-benar seolah membenarkan ungkapan ungkapan kuno para dewan agung italy yang kehadiran dunia prostitusi diperuntukan bagi dunia maupun ungkapan yang menyebutkan bahwa kemajuan sebuah daerah ditandai dengan adanya kawasan prostitusi. Daya tarik dolly yang seolah magnet yang menarik para penikmat seks ini benar-benar luar biasa. Bahkan kehadiran kawasan prostitusi terbesar dikota surabaya ini mendapat dukungan warga sekitar kawasan prostitusi. Dukungan ini terlihat beberapa waktu lalu saat pemerintah berkeinginan untuk membubarkan kawasan prostitusi dolly yang mendapat pertentangan dengan masyarakat kawasa dolly. Mereka menolak penghapusan kawasan prostitusi dolly. Penantangan ini tidak hanya dari masyarakat dikawasan dolly saja, tapi para penikmat hasrat dari berbagai daerah menentang penghapusan kawasan prostitusi dolly.
Lokalisasi dolly
ini seolah sebuah kota mesum, dimana dalam kawasan dolly sendiri di sesaki oleh
kurang lebih 800 wisma esek-esek, kafe dangdut, panti pijat pelacur plus-plus.
Selain disesaki oleh bangunan wisma, kafe, dan panti pijat, kawasan dolly juga
di sesaki oleh manusia dari segala profesi. Kurang lebih ada sekitar 9000
penjaja cinta yang ahli pijat aurat menyambut setiap pelanggan yang tidak segan
menawarkan alat kelamin kepada setiap pengunjung kawasan prostitusi dolly.
Ketika tawar menawar alat kelamin ini disepakati maka selanjutnya tawar menawar
itu kemudian menjadi desahan-desahan nikmat dari balik bilik sempit wisma
esek-esek yang ada di lokalisasi dolly. Desahan-desahan nikmat dari para
penikmat seks dikawasan lokalisasi dolly tidak sebanding dengan efek yang
mengintai dibalik desahan nikmat pada setiap pergumulan yang terjadi. Penyakit
menular yang dipicu oleh desahan pergumulan nikmat telah menjadi ancaman
tersendiri bagi masyarakat. Dari data dinas kesehatan kota surabaya dari
sebanyak 1.278 PSK dolly yang diperiksa, sekitar 900 orang atau 76% mengidap
penyakit menular seksual. Penyakit menular seksual yang di idap oleh PSK
kawasan dolly masih didominasi oleh HIV/AIDS.
Dari data yang di perlihatkan oleh pemerintah kota
surabaya tentang penyakit yang muncul dari perilaku seksual pada lokaslisasi
dolly tentu menjadi pertanyaan bagi kita. Benarkah kehadiran prostitusi
diperuntukan bagi dunia atau kehadiran prostitusi sebagai pemercepat
perkembangan sebuah daerah. Tentu kita semua menolak apapun jenis statemen yang
seolah hanya memberi lagilitas praktek transaksi seksual. Praktek seksual ini
tidak ubahnya sebuah kutukan yang menjalar untuk kemudian membinasakan
kelangsungan kehidupan umat manusia. Desahan-desahan kenikmatan yang
kehadirannya diperuntukan dunia, kini telah menjadi kutukan terkejam yang
membawa kesengsaraan dalam menjemput kematian. Betapa dahsyatnya kutukan ini
sampai mereka yang tidak merasakan nikmatnya transaksi alat kelamin inipun bisa
menjadi pewaris kutukan yang mematikan ini. Proses estafet kutukan ini
berproses secara terus menerus secara alami tanpa disadari oleh siapapun.
Malang, 11 Maret 2012
Minggu, 04 Maret 2012
TDL Masih Pantaskah Mencekik
PLTU Paiton saat malam
Saat seorang cendikiawan Yunani, Thales mengemukakan fenomena batu ambar yang ketika digosok akan menimbulkan daya tarik yang menarik bulu dianggap sebagai fenomena listrik. Penemuan Thales ini kemudian dikebangkan oleh ahli-ahli lain. Sejak itu kemudian orang mulai mengenal listrik secara luas. Penemuan listrik ini tidak berhenti pada penemuan energi listrik itu sendiri tapi penemuan listrik seolah membuka gerbang pusaka pengetahuan yang selama ini terpendam. Penemuan listrik kemudian di ikuti oleh penemuan-penemuan lain yang membutuhkan energi listrik dalam menjalankan mekanisme kerja hasil sebuah mahakarya hebat. Penemuan listrik seolah bah pengetahuan yang kemudian mengalirkan penemuan teknologi canggih pertanda modern. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa listrik adalah nenek moyang dari semua motor listrik yang dikembangkan dunia dewasa ini.
Saat seorang cendikiawan Yunani, Thales mengemukakan fenomena batu ambar yang ketika digosok akan menimbulkan daya tarik yang menarik bulu dianggap sebagai fenomena listrik. Penemuan Thales ini kemudian dikebangkan oleh ahli-ahli lain. Sejak itu kemudian orang mulai mengenal listrik secara luas. Penemuan listrik ini tidak berhenti pada penemuan energi listrik itu sendiri tapi penemuan listrik seolah membuka gerbang pusaka pengetahuan yang selama ini terpendam. Penemuan listrik kemudian di ikuti oleh penemuan-penemuan lain yang membutuhkan energi listrik dalam menjalankan mekanisme kerja hasil sebuah mahakarya hebat. Penemuan listrik seolah bah pengetahuan yang kemudian mengalirkan penemuan teknologi canggih pertanda modern. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa listrik adalah nenek moyang dari semua motor listrik yang dikembangkan dunia dewasa ini.
Oleh karena pentingnya nilai manfaat
dari energi listrik ini kemudian banyak dikembangkan berbagai jenis pembangkit
listrik demi menunjang kehidupan umat manusia yang makin larut dalam candu
modern yang tidak bisa lepas dari topangan listrik. Sebelumnya orang hanya
menciptakan listrik dari mesin diesel, tapi karena pemikiran akan
ketergantungan pada energi listrik masa depan sehingga manusia kemudian mulai
mengembangkan jenis pembangkit energi listrik yang lebih hemat dari diesel.
Pengembangan ini kemudian munculnya pembangkit listrik tenaga nuklir, tenaga
air, tenaga angin maupun tenaga uap yang memiliki tingkat hemat yang lebih baik
dari pembangkit listrik tenaga diesel. Unsur hemat ini diharapkan mampu
mencegah terjadinya krisis energi yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan
peradaban umat manusia.
Menghadapi krisis listrik ini,
pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan
Presiden RI Nomor 71 Tahun 2006 tanggal 05 Juli 2006 tentang penugasan kepada
PT. PLN (Persero) untuk melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga
Listrik yang menggunakan batubara. Lahirnya kabijakan ini kemudian oleh PT. PLN
(Persero) mengembangkan jenis pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap ini adalah sebuah langkah dari
pemerintah dalam mencegah terjadinya krisis energi dimasa mendatang. Kebijakan
Pemerintah yang tertuang dalam PP RI Nomor 71 Tahun 2006 ini kemudian oleh
pemerintah merencanakan dibangunnya 10 PLTU di Jawa dan 25 PLTU di Luar Jawa
Bali.
Sebuah pembangkit listrik yang
dibangun di kota Probolinggo adalah benar-benar menambah keyakinan kita betapa
kehidupan umat manusia saat ini benar-benar sudah tidak bisa dilepaskan dari
candu energi listrik ini. Menyaksikan kemegahan bangunan yang dibuat ini sudah
mampu membuat saya berdecak kagum, betapa tidak awalnya saya berpikir bahwa saya
akan masuk pada sebuah kota yang indah, kota yang penuh dengan hiasan lampu
kota yang memukau khas kota peraih adipura. Tapi oleh seorang warga probolinggo
mengatakan bahwa apa yang saya lihat bukan merupakan sebuah kota. Tapi itu
merupakan sebuah mesin pembangkit listrik tenaga uap dengan aliran listrik yang
tidak hanya melayani kebutuhan listrik masyarakat jawa timur saja tapi
merupakan listrik dengan jaringan interkoneksi yang mampu melayani kebutuhan
hingga masyarakat Bali sampai sumbawa.
Dibangunnya PLTU Paiton
Kabupaten Probolinggo yang pasokan listriknya menjangkau jawa bali ini tentu membawa
harapan tersendiri bagi masyarakat Jawa Bali. Mereka tentu sangat berharap
bahwa dengan dibangunnya PLTU super hemat bahan baku ini yang menunjang program diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik
ke non bahan bakar minyak (BBM) dengan memanfaatkan batubara berkalori rendah akan membawa kesejahteraan. Mereka tentu berharap PLTU Paiton layaknya juru selamat yang akan membawa mereka
keluar dari cengeraman tarif dasar listrik yang selama ini dinilai kejam dan
memberatkan masyarakat maupun pelaku bisnis yang tentu membutuhkan pasokan
listrik dalam menjalankan bisnis mereka. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan
PLTU ini tentu adalah sebuah langkah bijaksana baik dalam upaya menyejahterakan
masyarakat maupun dalam upaya mendorong hasrat pebisnis untuk membangun
kerajaan nisnis mereka yang kelak menjadi lahan sebagian masyarakat untuk
mengais rejeki dari kerajaan bisnis yang dibangun oleh para pelaku ekonomi.
Jember, 4 April 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Humor Politisi
Suatu hari rombongan politisi mengadakan kunjungan kerja ke suatu daerah. Dalam perjalanan, bis yang ditumpangi rombongan itu mengalami kecelakaan, kejadian itu disaksikan oleh seorang petani tua. Melihat banyaknya korban yang meninggal, si petani beserta warga sekitar langsung mengadakan penguburan massal. Suatu ketika datang seorang polisi yang datang untuk menyelidiki kecelakaan tersebut. Polisi bertanya pada petani, "Pak, apakah ada korban yang masih hidup???". Jawab petani, "Memang ada beberapa korban yang mengatakan kalo dia masih hidup, namun anda kan tahu politisi suka berbohong, jadi ya saya kubur semuanya..!".
Jumat, 17 Februari 2012
Gambar Telanjang Ternikmat
Dalam pengertian aslinya, pornografi
secara harfiah berarti "tulisan tentang pelacur",
dari akar kata Yunani klasik "πορνη" (porne) dan
"γραφειν" (graphein). Mulanya adalah sebuah eufemisme dan
secara harafiah berarti '(sesuatu yang) dijual.' Kata ini berasal dari dari
istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai", atau
pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani kuno.
Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuwan
sosial untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18
dan 19
menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul
untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford English Dictionary hingga 1905.
Belakangan istilah
digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang
dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, apabila pembuatan, penyajian
atau konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan
seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala
jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali
mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan
dengan erotika
yang sifatnya lebih terhormat. Istilah eufemistis
seperti misalnya film dewasa dan video dewasa biasanya lebih disukai oleh
kalangan yang memproduksi materi-materi ini. Meskipun demikian, definisi
pornografi sangat subyektif sifatnya. Karya-karya yang umumnya diakui sebagai
seni seperti misalnya patung "Daud"
karya Michelangelo
dianggap porno oleh sebagian pihak. http://id.wikipedia.org/wiki/Pornografi
Berikut Gambar-Gambar telanjang ternikmat.
Kamis, 16 Februari 2012
Review Jurnal Voluntarism dan Pelayanan Sosial di Irlandia
Pada kemerdekaan politik (1922) Negara Irlandia yang baru mewarisi kemerdekaannya dari Negara kolonial (Breen et al, 1990), dan masyarakat sipil relatif miskin karena sebagian besar terfokus pada perjuangan untuk identitas nasional dan kemerdekaan politik. Pada dekade setelah kemerdekaan, laju pembangunan ekonomi dan sosial lambat. Sampai tahun 1960-an jumlah penduduk terus menurun, daerah pedesaan secara sosial dan demografis habis dan daerah perkotaan tumbuh perlahan, hal ini mencerminkan lambatnya pembangunan ekonomi secara umum.
Tahap pertama dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi pada 1960-an dan 70-an ditandai dua perkembangan yang mengubah wajah Negara-campuran masyarakat sipil. Pertama, peran negara baik dalam penyediaan dan keuangan kesejahteraan sangat berkembang, yang mengarah ke menyeimbangkan kembali Negara / pengaruh non-profit di bidang kesehatan dan pendidikan pada khususnya. Kedua, sekulerisasi bahwa pembangunan ekonomi untuk membantu dan mempertahankan pertumbuhan generasi baru dari asosiasi sukarela, memberikan ekspresi dengan masalah-masalah yang muncul dalam hak-hak sipil, hak-hak perempuan, cacat, tunawisma, dan seterusnya. Ukuran keseluruhan sektor jasa sukarela sosial tumbuh selama periode ini dan komposisi menjadi lebih diverse. Meskipun tidak mungkin dengan data yang tersedia untuk mendokumentasikan pertumbuhan asosiasi sukarela secara rinci, jelas dari data agregat yang menggabungkan pelayanan sosial sukarela bahwa kehadiran sektor nonprofit telah memberikan perkembangan yang signifikan.
Irlandia, dengan perekonomianya yang maju mulai mengalami krisis fiskal pada akhir tahun 1970. Setelah dilakukan restrukturisasi kebijakan di akhir 1980-an dan awal 1990-an ekonomi tumbuh pada tingkat yang luar biasa meningkatan pesat dalam hal pendapatan pribadi dan akhirnya pencapaian full employment. Dalam restrukturisasi negara kesejahteraan di Britania, Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sektor jasa sosial sukarela telah dipengaruhi dalam berbagai cara. Perhatian yang lebih besar untuk mengendalikan fiskal telah mengakibatkan pertumbuhan dalam berbagai bidang sosial, sehingga memperluas lingkup potensi usaha amal sukarela . Selain itu, dalam derajat yang bervariasi, Negara-negara beralih ke penyediaan non-negara meskipun sejumlah mekanisme termasuk privatisasi pelayanan kepada pasar, kontrak jasa ke sektor swasta, penyedia komersial, dan kontraktor jasa kepada asosiasi-asosiasi sukarela (Pierson, 1994; Ascoli dan Ranci, 1999). Dalam 'skenario masukan kesejahteraan negara' di sektor jasa sosial sukarela sekarang ditempatkan dalam hubungan kualitatif yang berbeda dengan Negara (dan dengan sektor-sektor kesejahteraan lainnya), dengan penekanan lebih besar pada akuntabilitas keuangan dan manajemen dalam budaya kontrak.
Pada tahun 1997 Departemen Studi Sosial didekati oleh Society of Saint Vincent de Paul (SVP) untuk membantu dalam proses yang bertujuan untuk merumuskan pandangan masyarakat pada berbagai masalah yang relevan dalam kebijakan sosial nasional. Aspek yang paling penting dari proyek ini dari perspektif SVP Dewan Nasional adalah untuk mendapatkan mandat yang jelas dari keanggotaan akar rumput untuk mengejar peran lebih besar dalam perumusan kebijakan sosial nasional. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan peran kebijakan sosial nasional dengan dukungan dari anggotanya akan memerlukan tindakan penyeimbangan yang sulit. Ini berarti di satu pihak, terlibat dalam kerja kebijakan yang lebih, lobi, advokasi dan sebagainya, sementara di sisi lain tidak meninggalkan komitmennya untuk mengerjakan kasus rahasia dengan masing-masing klien.
Perumusan kebijakan dapat dipandang sebagai kegiatan yang dikemudian hari kelak akan menentukan masa depan suatu kehidupan publik tertentu, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Sehingga formulasi merupakan turunan dari formula yang berarti untuk mengembangkan rencana, metoda resep, dalam hal ini untuk meringankan suatu kebutuhan untuk tindakan dalam suatu masalah. Berangkat dari apa yang telah didefinisikan oleh Jones maka sebagai metoda dan resep sebaiknya dalam proses formulasi kebijakan harus melibatkan pihak lain yang memiliki ketertarikan dan minat dalam proses formulasi tersebut, sehingga informasi yang didapatkan dalam perumusan kebijakan tersebut lebih banyak. Formulasi tidak perlu dibatasi oleh serangkaian pelaksana saja dan dapat saja dua atau lebih kelompok perumus yang menghasilkan usulan saingan atau penambahan-penambahan.
Keterlibatan interest group dalam perumusan kebijakan sosial di satu sisi memberikan manfaat yang lebih besar karena kemungkinan terakomodirnya kepentingan rakyat lebih besar. Karena interest group merupakan kelompok masyarakat akar rumput yang cukup paham dengan kondisi masyarakat sehingga dalam merumuskan kebijakan arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai sebagaimana yang di ungkapkan oleh Dunn bahwa perumusan masalah akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosa pembagian-pembagian masalah publik, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang berseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Namun disisi lain kemungkinan negative yang di timbulkan dengan keterlibatan dari interest group ini adalah adanya kemungkinan dalam pembuatan kebijakannya hanya mengarah kepada kepentingan pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu, mengingat kebanyakan masyarakat acuh terhadap isu kebijakan, sebagaimana dalam teori elit yang menyodorkan sebuah argumen yang kuat tentang hal ini dengan menyatakan bahwa: sebagian besar rakyat merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan publik. Hal ini bisa kita lihat dari adanya pertentangan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah. Ini merupakan bukti kuat bahwa kebijakan yang dirumuskan tidak berpihak pada rakyat.
Keterlibatan interest group di irlandia oleh sebagian masyarakat masih dianggap tidak kondusif karena adanya perilaku ketidak jujuran dalam anggotanya, dimana sebagian anggotanya hanya dijadikan sebagai pihak partisan saja. Hal ini akan sangat mempengaruhi hasil dari rumusan kebijakan sosialnnya, dimana seharusnya kebijakan tersebut dibuat untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagaimana yang diungkapkan oleh Bessant, Watts, Dalton dan Smith, bahwa Kebijakan Sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya.
Indonesia sebagai negara yang multi entis maka keterlibatan interest group secara sepihak akan sangat berpengaruh pada perumusan sebuah kebijakan. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah diuntungkannya pihak tertentu, karena ketika seseorang dari etnis tertentu terlibat maka kemungkinan besar dia hanya memahami persoalan yang terjadi didaerahnya atau komunitasnya saja dan komunitas lain tidak dipahami sama sekali. Hal ini akan menyebabkan terjadinya ketimpangan baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam implementasi kebijakannya. Karena itu dalam perumusan kebijakan sosialnya membutuhkan pengetahuan yang kompleks sehingga kebijakan social yang dihasilkan menyentuh pada target yang di inginkan. Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat, idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo, bahwa para Pekerja Sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:
Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin). Namun demikian, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), Kebijakan Sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya Kebijakan Sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi. Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan.
Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang. Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang. Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi. Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil.
Dalam perumusan Kebijakan Sosial sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program.
Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana Kompetensi.
Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis Kebijakan Sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik Pekerjaan Sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.
Tahap pertama dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi pada 1960-an dan 70-an ditandai dua perkembangan yang mengubah wajah Negara-campuran masyarakat sipil. Pertama, peran negara baik dalam penyediaan dan keuangan kesejahteraan sangat berkembang, yang mengarah ke menyeimbangkan kembali Negara / pengaruh non-profit di bidang kesehatan dan pendidikan pada khususnya. Kedua, sekulerisasi bahwa pembangunan ekonomi untuk membantu dan mempertahankan pertumbuhan generasi baru dari asosiasi sukarela, memberikan ekspresi dengan masalah-masalah yang muncul dalam hak-hak sipil, hak-hak perempuan, cacat, tunawisma, dan seterusnya. Ukuran keseluruhan sektor jasa sukarela sosial tumbuh selama periode ini dan komposisi menjadi lebih diverse. Meskipun tidak mungkin dengan data yang tersedia untuk mendokumentasikan pertumbuhan asosiasi sukarela secara rinci, jelas dari data agregat yang menggabungkan pelayanan sosial sukarela bahwa kehadiran sektor nonprofit telah memberikan perkembangan yang signifikan.
Irlandia, dengan perekonomianya yang maju mulai mengalami krisis fiskal pada akhir tahun 1970. Setelah dilakukan restrukturisasi kebijakan di akhir 1980-an dan awal 1990-an ekonomi tumbuh pada tingkat yang luar biasa meningkatan pesat dalam hal pendapatan pribadi dan akhirnya pencapaian full employment. Dalam restrukturisasi negara kesejahteraan di Britania, Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sektor jasa sosial sukarela telah dipengaruhi dalam berbagai cara. Perhatian yang lebih besar untuk mengendalikan fiskal telah mengakibatkan pertumbuhan dalam berbagai bidang sosial, sehingga memperluas lingkup potensi usaha amal sukarela . Selain itu, dalam derajat yang bervariasi, Negara-negara beralih ke penyediaan non-negara meskipun sejumlah mekanisme termasuk privatisasi pelayanan kepada pasar, kontrak jasa ke sektor swasta, penyedia komersial, dan kontraktor jasa kepada asosiasi-asosiasi sukarela (Pierson, 1994; Ascoli dan Ranci, 1999). Dalam 'skenario masukan kesejahteraan negara' di sektor jasa sosial sukarela sekarang ditempatkan dalam hubungan kualitatif yang berbeda dengan Negara (dan dengan sektor-sektor kesejahteraan lainnya), dengan penekanan lebih besar pada akuntabilitas keuangan dan manajemen dalam budaya kontrak.
Pada tahun 1997 Departemen Studi Sosial didekati oleh Society of Saint Vincent de Paul (SVP) untuk membantu dalam proses yang bertujuan untuk merumuskan pandangan masyarakat pada berbagai masalah yang relevan dalam kebijakan sosial nasional. Aspek yang paling penting dari proyek ini dari perspektif SVP Dewan Nasional adalah untuk mendapatkan mandat yang jelas dari keanggotaan akar rumput untuk mengejar peran lebih besar dalam perumusan kebijakan sosial nasional. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan peran kebijakan sosial nasional dengan dukungan dari anggotanya akan memerlukan tindakan penyeimbangan yang sulit. Ini berarti di satu pihak, terlibat dalam kerja kebijakan yang lebih, lobi, advokasi dan sebagainya, sementara di sisi lain tidak meninggalkan komitmennya untuk mengerjakan kasus rahasia dengan masing-masing klien.
Perumusan kebijakan dapat dipandang sebagai kegiatan yang dikemudian hari kelak akan menentukan masa depan suatu kehidupan publik tertentu, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Sehingga formulasi merupakan turunan dari formula yang berarti untuk mengembangkan rencana, metoda resep, dalam hal ini untuk meringankan suatu kebutuhan untuk tindakan dalam suatu masalah. Berangkat dari apa yang telah didefinisikan oleh Jones maka sebagai metoda dan resep sebaiknya dalam proses formulasi kebijakan harus melibatkan pihak lain yang memiliki ketertarikan dan minat dalam proses formulasi tersebut, sehingga informasi yang didapatkan dalam perumusan kebijakan tersebut lebih banyak. Formulasi tidak perlu dibatasi oleh serangkaian pelaksana saja dan dapat saja dua atau lebih kelompok perumus yang menghasilkan usulan saingan atau penambahan-penambahan.
Keterlibatan interest group dalam perumusan kebijakan sosial di satu sisi memberikan manfaat yang lebih besar karena kemungkinan terakomodirnya kepentingan rakyat lebih besar. Karena interest group merupakan kelompok masyarakat akar rumput yang cukup paham dengan kondisi masyarakat sehingga dalam merumuskan kebijakan arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai sebagaimana yang di ungkapkan oleh Dunn bahwa perumusan masalah akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosa pembagian-pembagian masalah publik, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang berseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Namun disisi lain kemungkinan negative yang di timbulkan dengan keterlibatan dari interest group ini adalah adanya kemungkinan dalam pembuatan kebijakannya hanya mengarah kepada kepentingan pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu, mengingat kebanyakan masyarakat acuh terhadap isu kebijakan, sebagaimana dalam teori elit yang menyodorkan sebuah argumen yang kuat tentang hal ini dengan menyatakan bahwa: sebagian besar rakyat merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan publik. Hal ini bisa kita lihat dari adanya pertentangan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah. Ini merupakan bukti kuat bahwa kebijakan yang dirumuskan tidak berpihak pada rakyat.
Keterlibatan interest group di irlandia oleh sebagian masyarakat masih dianggap tidak kondusif karena adanya perilaku ketidak jujuran dalam anggotanya, dimana sebagian anggotanya hanya dijadikan sebagai pihak partisan saja. Hal ini akan sangat mempengaruhi hasil dari rumusan kebijakan sosialnnya, dimana seharusnya kebijakan tersebut dibuat untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagaimana yang diungkapkan oleh Bessant, Watts, Dalton dan Smith, bahwa Kebijakan Sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya.
Indonesia sebagai negara yang multi entis maka keterlibatan interest group secara sepihak akan sangat berpengaruh pada perumusan sebuah kebijakan. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah diuntungkannya pihak tertentu, karena ketika seseorang dari etnis tertentu terlibat maka kemungkinan besar dia hanya memahami persoalan yang terjadi didaerahnya atau komunitasnya saja dan komunitas lain tidak dipahami sama sekali. Hal ini akan menyebabkan terjadinya ketimpangan baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam implementasi kebijakannya. Karena itu dalam perumusan kebijakan sosialnya membutuhkan pengetahuan yang kompleks sehingga kebijakan social yang dihasilkan menyentuh pada target yang di inginkan. Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat, idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo, bahwa para Pekerja Sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:
Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin). Namun demikian, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), Kebijakan Sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya Kebijakan Sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi. Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan.
Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang. Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang. Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi. Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil.
Dalam perumusan Kebijakan Sosial sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program.
Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana Kompetensi.
Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis Kebijakan Sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik Pekerjaan Sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.
Malang, 16 Februari 2012.
Hubungan Analisis dan Evaluasi
Secara sepintas antara analisis dan evaluasi berbeda, namun kalau kita cermati lebih jauh antara analisis dan evaluasi memiliki kesamaan sifat diantara keduanya. Berangkat dari devinisi masing-masing maka akan mengantarkan pikiran kita pada tujuan yang sama, dimana dalam analisis kebijakan mencoba memahami segala sesuatunya sebelum sesuatu itu ada atau dalam artian sementara dalam proses formulasi sehingga analisis ini juga bisa dikatakan sebagai evaluasi awal sebuah kebijakan. Sehingga secara sederhana analisis bisa dikatakan sebagai evaluasi awal sebuah kebijakan. Namun pemahaman umum selama ini orang beranggapan bahwa evaluasi hanya bisa dilakukan ketika kegiatan itu sudah berakhir. Dalam analisis ini juga mencoba memahami sisi negatif maupun positif dari sebuah kebijakan.
Dalam hal ini evaluasi lebih menekankan pada penciptaan premis-premis nilai yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan (Dunn, 607). Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi ini sangat dibutuhkan oleh para analisis, karena informasi ini merupakan bahan baku bagi para analis untuk meramu kebijakan yang lebih baik lagi, baik dari segi kebijakannya maupun kinerja implementornya, dalam artian yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan (Dunn, 608). Woolfolk dan Nicolich mengemukakan bahwa penilaian atau evaluasi merupakan suatu proses membandingkan informasi dengan kriteria, kemudian membuat pertimbangan; yakni membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai. Sejalan dengan pengertian tersebut, Raka Joni mengemukakan bahwa penilaian adalah “penetapan baik-buruk terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu”.
Gronlund dan Linn mengemukakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan informasi, analisis dan interpretasi informasi yang sistematis untuk menentukan sejauhmana mencapai tujuan pembelajaran. Secara lebih rinci, Phi Delta Kappa National Study Committee of Evaluation menguraikan pengertian evaluasi sebagai proses pen-carian, perolehan dan penyediaan informasi yang berguna bagi pertimbangan alternatif-alternatif keputusan. Pengertian ini berkaitan dengan tiga hal mendasar, yaitu: 1) evaluasi merupakan suatu proses sistematis yang berkelanjutan; 2) proses tersebut meliputi tiga langkah, yakni: (1) menyusun pertanyaan yang memerlukan jawaban dan informasi spesifik yang ingin diperoleh, (2) mengumpulkan data yang relevan, (3) menyajikan informasi yang di-hasilkan kepada pengambil keputusan yang akan mempertimbangkan dan menginterpretasikannya berkaitan dengan alternatif keputusan yang akan diambil; 3) evaluasi mendukung proses pem-buatan keputusan dengan menyediakan alternatif-alternatif yang terseleksi serta menidaklanjuti konsekuensi-konsekuensinya. Kalau kita merujuk pada apa yang telah diuraikan diatas, jika evaluasi sebagai penyedia informasi, maka evaluasi itupun merupakan proses analisis.
Evaluasi sebagai Analisis Rasional
Analisis ialah proses untuk mengetahui informasi yang telah dikumpulkan. Analisis termasuk mengolah data yang telah dikumpulkan untuk menentukan kesimpulan yang didukung data tersebut, seberapa banyak ia mendukung dan tidak mendukung kesimpulan. Tujuan analisis ialah membuat singkatan dari data dan menyimpulkan pesan-pesan yang ada di dalamnya sebagai informasi yang dapat dipakai sebagai dasar yang tentatif untuk keputusan. Kebanyakan analisis dilakukan bertahap, yaitu informasi diberi kode atau siatur sehingga mudah dimengerti (misalnya, ditulis berturut-turut menurut waktu, persentase, atau diattu nomor , dan lain-lain). Dengan melihat sekilas saja sudah dapat dimmengerti dan diketahui apakah diperlukan analisis-analisis yang lebih jauh, bila perlu, analisis yang bagaimana?. Gunakan analisis yang lebih rinci bila diperlukan(misalnya analisis nilai rata-rata, lembar jawaban, analisis konten, dan wawancara),.
Menafsirkan analisis data bukan hanya pekerjaan evaluator. Kebanyakan evaluator telah mengetahui bahwa menafsirkan dan meringkas hasil secara terpisah merupakan hal yang tidak praktis. Evaluator hanya memberikan pandangan saja dari sekian banyak pandangan, tetapi pada kenyataannya evaluator kurang siap untuk menerima pandangan lain dari orang yang masih mempunyai pandangan yang masih segar.
Kapan keputusan analisis dibuat? Dalam rencana suatu evaluasi beberapa masalah analisis ditentukan. Keputusan awal ini sehubungan dengan tujuan evaluasi. Misalnya, suatu evaluasi untuk menentukan apakah pendekatan latihan yang satu lebih baik daripada yang lain, dalam hal ini mungkin akan memakai semacam dampak strategi A dibandingkan dengan strategi B, selain dengan analisis komparatif juga dapat dipilih inovasi yang memakai analisis kualitatif. Kemudian dalam evaluasi, ketika memutuskan informasi yang akan dikumpulkan (tes, wawancara, observasi, dan sebagainya), juga diputuskan analisis yang akan dipakai.
Kemudian menentukan bagaimana mengatur dan menyimpan data apabila sudah terkumpul. Apabila informasi sudah terkumpul, wawancara dilengkapi, kuesioner dikembalikan, laporan observasi sudah siap, keputusan analisis dilihat kembali. Apakah informasi cukup bermutu untuk dianalisis? Dan apa artinya? Analisis berlanjut apabila data mulai masuk dari kumpulan informasi. Mula-mula data diatur dan diberi kode, kemudian diperiksa apakah sudah lengkap dan berguna untuk dianalisis atau tidak. Kemudian analisis yang telah ditentukan dimulai, dan sering berputar kembali untuk menambah pengumpulan informasi lagi.
Metode untuk menganalisis data dan menginterpretasi harus ditentukan pada saat membuat keputusan tentang bagaimana informasi akan dikumpulkan dan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan dijawab oleh evaluasi. Semua kegiatan evaluasi ini bekerja sama. Tak ada satu aspek pun yang dilakukan tanpa menimbang yang lain, semua bagian berhubungan dengan seluruh tujuan evaluasi. Apabila memikirkan alternatif metode untuk menganalisis dan menginterpretasi data, evaluator harus bertanya pada diri sendiri sebagai berikut:
1. Metode analisis data dan interprestasi apa yang sesuai dengan pertanyaan yang akan dijawab, informasi yang akan dikumpulkan, dan metode yang akan dipakai untuk mengumpulkan informasi?
2. Metode analisis data dan interprestasi yang bagaimana yang mudah dimengerti dan dipercaya?
3. Untuk data kuantitatif, skala pengukuran apa yang akan dipakai, da metode apa yang tepat untuk itu?
4. Untuk data kualitatif, bagaimana observasi akan direkam?
5. Siapa yang akan dilibatkan dalam menginterprestasi hasil analisis data?
(Worthen. R. Blaine & James R. Sandera, 1988): Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan membantu evaluator memilih analisis data yang tepat dan metode interprestasi yang tepat. Pada saat permulaan atau pada tahap perencanaan, evaluator harus melibatkan konsultan teknik, seperti ahli statistik, bila perlu.
Banyak pakar maupun para ahli yang mencoba mendevinisikan tentang evaluasi kebijakan. Salah satu pakar yang mendevinisikan tentang evaluasi kebijakan ini adalah Thomas Dye. Ia menawarkan sebuah devinisi yang luas dan bagus saat dia mencatat bahwa evaluasi kebijakan adalah pembelajaran tentang konsekwensi dari kebijakan publik, Dye dalam (Wayne Parson, 547). Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuannya yang ingin dicapai.
Dalam hal ini evaluasi lebih menekankan pada penciptaan premis-premis nilai yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan (Dunn, 607). Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi ini sangat dibutuhkan oleh para analisis, karena informasi ini merupakan bahan baku bagi para analis untuk meramu kebijakan yang lebih baik lagi, baik dari segi kebijakannya maupun kinerja implementornya, dalam artian yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan (Dunn, 608). Woolfolk dan Nicolich mengemukakan bahwa penilaian atau evaluasi merupakan suatu proses membandingkan informasi dengan kriteria, kemudian membuat pertimbangan; yakni membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai. Sejalan dengan pengertian tersebut, Raka Joni mengemukakan bahwa penilaian adalah “penetapan baik-buruk terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu”.
Gronlund dan Linn mengemukakan bahwa penilaian merupakan proses pengumpulan informasi, analisis dan interpretasi informasi yang sistematis untuk menentukan sejauhmana mencapai tujuan pembelajaran. Secara lebih rinci, Phi Delta Kappa National Study Committee of Evaluation menguraikan pengertian evaluasi sebagai proses pen-carian, perolehan dan penyediaan informasi yang berguna bagi pertimbangan alternatif-alternatif keputusan. Pengertian ini berkaitan dengan tiga hal mendasar, yaitu: 1) evaluasi merupakan suatu proses sistematis yang berkelanjutan; 2) proses tersebut meliputi tiga langkah, yakni: (1) menyusun pertanyaan yang memerlukan jawaban dan informasi spesifik yang ingin diperoleh, (2) mengumpulkan data yang relevan, (3) menyajikan informasi yang di-hasilkan kepada pengambil keputusan yang akan mempertimbangkan dan menginterpretasikannya berkaitan dengan alternatif keputusan yang akan diambil; 3) evaluasi mendukung proses pem-buatan keputusan dengan menyediakan alternatif-alternatif yang terseleksi serta menidaklanjuti konsekuensi-konsekuensinya. Kalau kita merujuk pada apa yang telah diuraikan diatas, jika evaluasi sebagai penyedia informasi, maka evaluasi itupun merupakan proses analisis.
Evaluasi sebagai Analisis Rasional
Analisis ialah proses untuk mengetahui informasi yang telah dikumpulkan. Analisis termasuk mengolah data yang telah dikumpulkan untuk menentukan kesimpulan yang didukung data tersebut, seberapa banyak ia mendukung dan tidak mendukung kesimpulan. Tujuan analisis ialah membuat singkatan dari data dan menyimpulkan pesan-pesan yang ada di dalamnya sebagai informasi yang dapat dipakai sebagai dasar yang tentatif untuk keputusan. Kebanyakan analisis dilakukan bertahap, yaitu informasi diberi kode atau siatur sehingga mudah dimengerti (misalnya, ditulis berturut-turut menurut waktu, persentase, atau diattu nomor , dan lain-lain). Dengan melihat sekilas saja sudah dapat dimmengerti dan diketahui apakah diperlukan analisis-analisis yang lebih jauh, bila perlu, analisis yang bagaimana?. Gunakan analisis yang lebih rinci bila diperlukan(misalnya analisis nilai rata-rata, lembar jawaban, analisis konten, dan wawancara),.
Menafsirkan analisis data bukan hanya pekerjaan evaluator. Kebanyakan evaluator telah mengetahui bahwa menafsirkan dan meringkas hasil secara terpisah merupakan hal yang tidak praktis. Evaluator hanya memberikan pandangan saja dari sekian banyak pandangan, tetapi pada kenyataannya evaluator kurang siap untuk menerima pandangan lain dari orang yang masih mempunyai pandangan yang masih segar.
Kapan keputusan analisis dibuat? Dalam rencana suatu evaluasi beberapa masalah analisis ditentukan. Keputusan awal ini sehubungan dengan tujuan evaluasi. Misalnya, suatu evaluasi untuk menentukan apakah pendekatan latihan yang satu lebih baik daripada yang lain, dalam hal ini mungkin akan memakai semacam dampak strategi A dibandingkan dengan strategi B, selain dengan analisis komparatif juga dapat dipilih inovasi yang memakai analisis kualitatif. Kemudian dalam evaluasi, ketika memutuskan informasi yang akan dikumpulkan (tes, wawancara, observasi, dan sebagainya), juga diputuskan analisis yang akan dipakai.
Kemudian menentukan bagaimana mengatur dan menyimpan data apabila sudah terkumpul. Apabila informasi sudah terkumpul, wawancara dilengkapi, kuesioner dikembalikan, laporan observasi sudah siap, keputusan analisis dilihat kembali. Apakah informasi cukup bermutu untuk dianalisis? Dan apa artinya? Analisis berlanjut apabila data mulai masuk dari kumpulan informasi. Mula-mula data diatur dan diberi kode, kemudian diperiksa apakah sudah lengkap dan berguna untuk dianalisis atau tidak. Kemudian analisis yang telah ditentukan dimulai, dan sering berputar kembali untuk menambah pengumpulan informasi lagi.
Metode untuk menganalisis data dan menginterpretasi harus ditentukan pada saat membuat keputusan tentang bagaimana informasi akan dikumpulkan dan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan dijawab oleh evaluasi. Semua kegiatan evaluasi ini bekerja sama. Tak ada satu aspek pun yang dilakukan tanpa menimbang yang lain, semua bagian berhubungan dengan seluruh tujuan evaluasi. Apabila memikirkan alternatif metode untuk menganalisis dan menginterpretasi data, evaluator harus bertanya pada diri sendiri sebagai berikut:
1. Metode analisis data dan interprestasi apa yang sesuai dengan pertanyaan yang akan dijawab, informasi yang akan dikumpulkan, dan metode yang akan dipakai untuk mengumpulkan informasi?
2. Metode analisis data dan interprestasi yang bagaimana yang mudah dimengerti dan dipercaya?
3. Untuk data kuantitatif, skala pengukuran apa yang akan dipakai, da metode apa yang tepat untuk itu?
4. Untuk data kualitatif, bagaimana observasi akan direkam?
5. Siapa yang akan dilibatkan dalam menginterprestasi hasil analisis data?
(Worthen. R. Blaine & James R. Sandera, 1988): Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan membantu evaluator memilih analisis data yang tepat dan metode interprestasi yang tepat. Pada saat permulaan atau pada tahap perencanaan, evaluator harus melibatkan konsultan teknik, seperti ahli statistik, bila perlu.
Banyak pakar maupun para ahli yang mencoba mendevinisikan tentang evaluasi kebijakan. Salah satu pakar yang mendevinisikan tentang evaluasi kebijakan ini adalah Thomas Dye. Ia menawarkan sebuah devinisi yang luas dan bagus saat dia mencatat bahwa evaluasi kebijakan adalah pembelajaran tentang konsekwensi dari kebijakan publik, Dye dalam (Wayne Parson, 547). Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuannya yang ingin dicapai.
Langganan:
Postingan (Atom)