Selamat Datang

Mencoba Melukis Makna Dalam Deretan Aksara

Kamis, 27 Januari 2011

DINAMIKA EKSISTENSI GENDER

Lokakarya Nasional Gender, Universitas Brawijaya Malang

Persoalan gender hingga saat ini masih merupakan isu yang hangat dan persoalan ini melanda hampir semua negara di dunia ini. Di negara manapun sering kita menjumpai adanya pembatasan peran baik dalam peran sosial di masyarakat, perusahaan swasta, instansi pemerintah maupun dalam politik. Hampir semua bidang ini sejak dulu lebih di dominasi oleh kaum pria sedangkan wanita sangat sedikit yang menduduki posisi penting dalam bidang-bidang ini, lebih-lebih dalam hal politik peran wanita sangat sedikit. Greater dalam hal ini mengungkapkan bahwa keterwakilan perempuan dalam kehidupan publik ini sangat penting dalam memastikan bahwa kepentingan perempuan terwakili dalam pengambilan keputusan, hal ini diperkuat oleh  Su Maddock yang mengatakan bahwa dalam budaya gender masa lalu telah terjadi masalah ketidak adilan individu sebagaimana praktek-praktek tradisional dan konvensional yang sebagian besar dirancang dan di kembangkan tanpa perempuan pada hal budaya laki-laki yang yang menggagalkan peran perempuan juga berdampak pada pembangunan.

Peran Perempuan Dalam Panggung Politik
Di negara skotlandia ketidak setaraan gender dalam panggung politik terjadi karena perempuan di beberapa pihak bias terhadap perempuan yang lain, dan bahwa para politisi laki-laki enggan untuk berbagi  kekuasaan dengan perempuan.  Ke engganan berbagi kekuasaan ini merupakan ego dominan dari kaum pria yang merasa lebih hebat dari perempuan, disamping itu hal ini terjadi karena pengaruh budaya yang tertanam dalam pemikiran kaum pria bahwa wilayah kaum perempuan hanya pada sebatas urusan rumah tangga saja dan urusan lain seperti politik, sosial, pemerintahan dan lain sebagainya adalah urusan kaum pria.
Di Dewan komunitas skotlandia masih di dominasi oleh kaum pria, ketidak adilan dalam komunitas dewan ini memaksa para aktivis perempuan dari partai politik, serikat buruh dan akademi, organisasi sukarela dan kelompok-kelompok perempuan melakukan kampanye kepada masyarakat untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam proses seleksi. Perjuangan kaum perempuan ini mendapat persetujuan dari pemerintah dengan diterbitkannya konvensi konstitusional skotlandia pada tahun 1995.
Bahkan selama ini ada anggapan masyarakat yang umum bahwa untuk menjadi seorang pemimpin maka seseorang itu harus maskulin. Mitos tentang kepemimpinan maskulin ini  sudah mengakar  dalam pemikiran masyarakat saat ini. Budaya juga sering melihat wanita pada koridor yang memiliki batasan dengan memberikan argumen pembatasan yang merugikan perempuan itu sendiri. Brown dalam sebuah studinya mengidentifikasi sejumlah faktor non sistemik yang berdampak pada representasi perempuan dalam kehidupan publik dan politik yaitu: adanya sikap tradisional dalam peran perempuan, kurangnya rasa percaya diri, kurangnya rasa percaya diri dan kurangnya pengalaman dalam berbicara di depan umum.


Pengaruh Budaya terhadap Ketimpangan Gender
Sejak zaman purba, sebagian besar masyarakat menganggap wanita sebagai makhluk aneh dan warga kelas dua. Bahkan pada zaman dulu melahirkan anak perempuan adalah aib sehingga pada zaman dulu banyak bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Kalau kita merujuk pada apa yang dikemukakan dalam pandangan post modern maka hal itu merupakan sebuah kejahatan, karena perempuan tidak selemah apa yang ada dalam pikiran kaum pria saat ini. Sebuah penelitian yang mengejutkan pernah dilakukan di negara amerika, dimana setelah di diteliti ternyata semangat yang dimiliki oleh seorang wanita lebih tinggi di banding semangat yang dimiliki oleh kaum pria. Bahkan saat ini sebanyak lima ribu lebih perusahaan besar di amerika di pimpin oleh perempuan.
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup  budaya dan ideologi patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh  manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik.

Gender Di Indonesia
Di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun persepsi masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita tujuannya adalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex. Perempuan 'direndahkan' ketika ia hanya di rumah dan 'dieksploitasi' ketika mereka berada di tempat kerja. Persepsi demikian tidak hanya dianut kalangan awam, juga cendekiawan, dan yang lebih memprihatinkan pemerintah juga menjustifikasi persepsi tersebut dalam kebjakan pembangunan, yang diungkapkan dalam panca tugas wanita: sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pendidik dan pembina generasi muda, sebagai pekerja yang menambah penghasilan negara dan sebagai anggota organisasi masyarakat, khususnya organisasi perempuan dan organisasi sosial. Tak terungkap tegas apa peran-peran seorang laki-laki.
Bila kita tinjau permasalahan gender di Indonesia, sampai sekarang hegemoni pandangan mengenai pertama-tama perempuan sebagai ibu rumah tangga masih teramat kuat, sehingga baik pemerintah maupun media massa terus-menerus berbicara tentang peran ganda, padahal menurut Budiman, jika wanita masih harus membagi hidupnya menjadi dua, satu di sektor domestik dan satu lagi di sektor publik, maka menurutnya laki-laki yang mencurahkan perhatian sepenuhnya pada sektor publik akan selalu memenangkan persaingan di pasaran tenaga kerja. Tampaknya mustahil untuk mengatasi permasalahan gender ini hanya dari sudut pandang wanita, atau dengan perkataan lain hanya dengan berusaha merubah wanita sebagai individu, dan juga masalah tidak akan selesai hanya dengan menyalahkan laki-laki, namun penting untuk memahami laki-laki secara empatik, apa permasalahannya, bagaimana kaitannya dengan struktur patriarchi masyarakat, yang tentunya terkait dengan budaya dari suatu masyarakatnya. Untuk menguraikan hal ini, O'Neil menemukan dan mengembangkan teori dan penelitan-penelitian yang menerangkan bagaimana sexisme dan sosialisasi peran jenis kelamin berinteraksi menekan baik wanita maupun pria.
Teori konflik peran gender ini tentu saja dikembangkan atas dasar tatanan masyarakat patriarchat Barat, meskipun sedikit penelitian-penelitian lintas budaya telah di mulai. Terdapatnya keterkaitannya dengan budaya dan struktur masyarakat, menimbulkan ketertaikan untuk melihatnya pula pada masyarakat Indonesia. Bila kita berbicara tentang masyarakat Indonesia, kita tidak dapat melepaskan diri dari kemajemukannya, diantaranya budaya yang beragam. Bagaimana kiranya gambaran konflik peran gender ini pada laki-laki di masyarakat matriarchat seperti masyarakat Minangkabau, bagaimana pula gambaran konflik peran gender ini pada laki-laki masyarakat patriarchat Batak, adakah kaitannya dengan kebencian terhadap perempuan?

Bagaimana gender menurut teori nurture?

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” atau fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut.

Gender Dalam Perspektif Postmodern
Aliran postmodern adalah aliran yang menolak terhadap segala bentuk mitos dan hal-hal yang tidak masuk akal. Postmodern mengakui segala bentuk disiplin ilmu modern dan bidang ilmu yang berakar pada epistemologi yang berdasarkan pada fenomena objektif dan diskriptif baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dimana dalam hal ini modernisme mencoba mengejar ilmu pengetahuan melalui pendekatan akal, dan ilmu engetahuan yang faktual.
Hadirnya teori postmodern membawa angin segar pada perjuangan wanita yang selama ini memperjuangkan adanya kesetaraan dalam mendapatkan hak-hak mereka yang selama ini di kungkung dalam himpitan budaya yang memposisikan mereka sebagai warga kelas dua. Ketimpangan ini menyadarkan perempuan untuk membentuk model perjuangan yang efektif.
Dengan bermunculannya gerakan-gerakan serta kajian-kajian wanita, memberikan kesempatan bagi wanita untuk bisa tampil di dunia yang secara tradisional dianggap dunia pria. Berubahnya peran-peran wanita ini, seharusnya membawa konsekwensi berubah pula peran-peran pria, sekaligus tatanan sosial yang ada. Jika pria sebagai bagian dari masyarakat, tidak ikut berubah, maka permasalahan akan timbul. Dalam skala keluarga misalnya, dengan bekerjanya seorang ibu, maka iapun berperan sebagai pemberi nafkah keluarga, yang tentunya mempengaruhi ketersediaan waktu dan tenaga ibu untuk berperan di dalam pengaturan rumah tangga serta pengasuhan anak. Sehingga bapak diharapkan juga dapat mengisi peran-peran seperti pengasuhan anak dan pekerjaan keluarga. Namun berbagai kondisi yang tampil, menunjukkan hal yang berbeda, wanita diperkenankan untuk bekerja, baik dengan alasan ekonomi, maupun alasan pengembangan diri, namun di sisi lain, ia tetap dituntut bertanggung jawab penuh di dunia rumah tangga serta pengasuhan anak. Kondisi yang kerap diistilahkan sebagai peran ganda ini, tanpa melibatkan peran serta pria untuk membuat keseimbangan, cenderung akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di sini tampak relevannya kajian-kajian Psikologi Pria, diantaranya dengan mendefenisikan kembali maskulinitas, meninjau kembali persoalan gender ini dari dunia pria, sehingga mampu menampilkan keseimbangan di tengah mulai tampaknya perubahan.



Referensi

Handayani, Cristina, S dan Novianto, Ardhian. Kuasa Wanita Jawa, LKIS, Yogyakarta, 2008.
Frederickson, H. George And Smith Kevin, B. The Public Administration Theory Primer. Westview Press. United States Of America. 2002.
McMillan, Janice and Fenwick  John. 2008. Learning, Compliance and Gender in Public Management. Public Policy and Administration . 23(3) 247–261.
Su Maddock. 2009. Gender Still Matters and Impacts on Public Value and Innovation and the Public Reform Process. Public Policy and Administration. 24(2) 141–152.
Siebert Sabina. Gender Balance in Scottish Local Authority Councils. Public Policy and Administration. 24(2) 175–193.

Junor, Anne Dan Hampson, Ian. 2009. Valuing Skills Helping Mainstream Gender Equity in the New Zealand State Sector. Public Policy and Administration. 24(2) 195–211.

Diedre L. Badejo, 2007. Gender Ideology, Global Africa, And The Challenges For Pan-African Studies In The 21st Century.  The Journal of Pan African Studies, vol.1, no.10.