Keban mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam
rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun
melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan
intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini
lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery
system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik
adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan
jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik
adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan
publik.
Dalam
arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan
public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai
kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik
lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik
seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen
dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah
merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya
dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah etika
disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti
penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau
nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran
tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami perkembangan
sejak tahun 1940-an melalui karya Leys. Leys mengatakan
bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan
standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan tidak
mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Pada
sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui karya
Anderson untuk menyempurnakan aspek standard yang digunakan
dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu point baru, bahwa
standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani. Kemudian
pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski yang menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus
mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku
tersebut.
Rohr menyarankan agar
administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan,
persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai
alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian
maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical).
Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan substantive reasoning
tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing
ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai
yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper
bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada
tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard
etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
Malang, 07 Januari 2012