Sultra adalah daerah multi etnis yang
di huni oleh berbagai suku dengan berbagai macam bahasa. Keanekaragaman ini
bisa menjadi pemicu munculnya konflik social dalam masyarakat, karena masing-masing
suku ingin mengambil peran-peran tertentu baik peran dalam proses kekuasaan
maupun peran lain dalam masyarakat. Pada masyarakat multi etnis,
pihak yang diuntungkan dan dirugikan tersebut selalu di identifikasikan, baik
sebagai kenyataan maupun di persepsikan dengan kelompok etnis tertentu. Artinya bahwa sebuah posisi selalu dianggap
hanya akan menguntungkan etnis tertentu.
Dalam konflik yang terjadi di
kampus Unhalu sering kali dikaitkan dengan etnis tertentu dan hal ini sudah
sering terjadi. Walaupun kadang hanya persoalan kecil tapi sering kali
persoalan kecil tersebut menjadi besar karena selalu dikaitkan dengan etnis
tertentu. Dan setiap kali terjadi konflik orang selalu bertanya suku apa berkonflik
dengan suku apa, bukannya siapa dengan siapa. Ketika sebuah konflik, sekecil
apapun ketika sudah menyeret nama etnis pasti akan cepat membesar, karena
setiap orang merasa harga dirinya terinjak ketika sukunya dilecehkan dan mereka
akan cenderung untuk bersatu atas nama etnis mereka. Kadang rasa persatuan ini
terbentuk diluar kesadaran mereka, karena ada kekuatan etnis yang berjalan
diluar rasa kesadaran mereka. Konflik yang terjadi diunhalu
seringkali bertepatan dengan moment-moment tertentu seperti pilgub, pilwali,
atau pemilihan rektor. Sebelumnya, pada tahun 2008 yang lalu kejadian seperti
ini juga terjadi, dimana pada 2008 yang lalu juga melibatkan etnis. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu
konflik berdarah di kampus Unhalu:
Faktor Politik
Seingat saya pada 2008 yang saat
menjelang pemilihan Gubernur dan pemilihan Rektor kasus konflik seperti yang
terjadi saat ini juga terjadi. Anehnya isu seperti ini selalu melibatkan etnis
muna dan etnis tolaki. Kondisi ini membuat kita
berpikir bahwa kejadian yang
terjadi di Unhlau tidak murni konflik etnis. Tapi bisa jadi ini merupakan
konflik politik, mengingat selama ini setiap gerak politik yang terjadi di Sultra
selalu terkonsentrasi di wilayah kampus. Selain itu daerah kampus merupakan
daerah paling rawan terjadinya isu konflik etnis. Dalam pilgub sultra peran
kampus sangat besar dalam menentukan arah pergerakan politik sultra, karena
patron dalam mengukur kekuatan politik satu kelompok akan sangat ditentukan
komunitas kampus. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat sultra yang
apatis dengan politik dan walaupun ada mereka hanya sebatas menjadi penonton
dan pendengar baik dari pinggir lapangan, dan kalaupun ikut bermain bukan
karena paham dengan permainan yang sedang dimainkan tapi karena terprofokasi
oleh kelompok tertentu.
Model konflk ini sebenarnya bukan lagi
sesuatu yang baru, karena kejadian seperti ini merupakan sebuah pengulangan
peristiwa. Saya melihat ada kelompok tertentu yang ingin merebut posisi-posisi
tertentu, baik dalam proses politik maupun dalam posisi jabatan birokrasi.
Dalam perebutan kekuasaan ini yang umum terjadi adalah dengan membangkitkan
sifat primordialisme kedaerahan. Dengan cara seperti ini kelompok-kelompok
tertentu akan mempunyai kekuatan karena mereka dipersatukan oleh kekuatan
kedaerahan. Cara pelibatan etnis dalam proses politik sudah sering terjadi.
Politik lokal yang menunjukan warna etnis ini sangat mencolok terjadi pasca
runtuhnya orde baru.
foto by wordpress.com
Politik lokal yang melibatkan etnis
ini juga pernah terjadi di Kalimantan Barat, dimana etnis Dayak dan Melayu
berkonflik dalam memperebutkan posisi kekuasaan dalam pemerintahan. Hal yang
sama juga terjadi pada kasus Sampit, dimana persoalan ini pada awalnya merupakan
persoalan kecil, tapi kemudian persoalannya menjadi besar karena dimanfaatkan
oleh kelompok tertentu untuk merebut posisi-posisi tertentu dalam kekuasaan. Di
Sultra dalam beberapa pemilihan pada periode-periode sebelumnya isu etnis ini
sudah sering di lontarkan. Sehingga isu konflik etnis ini sepertinya sengaja
dipelihara dan akan dihembuskan ketika ada kelompok tertentu yang memiliki
kepentingan politik tertentu. Baik menyangkut persoalan politik sultra secara
umum maupun menyangkut persoalan politik internal Unhalu. Dalam proses politik semacam ini manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengkalkulasi konflik. Manusia menggunakan menggunakan konflik untuk menghadapi kompetisi politik menang kalah.
Faktor Kepentingan.
Setiap orang memiliki kepentingan yang
tidak sama. Hal ini sangat ditentukan oleh visi hidup masing-masing individu. Perbedaan
pandangan hidup ini akan berimpilkasi pada karakter yang mengantar mereka untuk
mengejar sumber daya yang akan mendekatkan pada tujuan-tujuan mereka. Disamping
itu ada keinginan atau naluri untuk mempertahankan hidup sehingga keinginan ini
akan melahirkan kepentingan-kepentingan dalam diri individu-individu tertentu.
Kondisi tersebut dengan sendirinya
akan meciptakan lahirnya individu-individu yang penuh dengan ambisi untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka walaupun bertentangan dengan
keinginan orang banyak. Perbedaan kepentingan ini adalah sesuatu yang wajar
mengingat kehidupan umat manusia saat ini sudah ditentukan oleh sekumpulain nilai-nilai tertentu. Disamping itu sumber
daya yang tersedia untuk diperrebutkan terbatas jumlahnya dan oleh karena itu orang harus
berkompetisi untuk merebut sumberdaya-sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu pada akhirnya setiap individu
harus berjuang demi mendapatkan jabatan, kekuasaan, gengsi dan lain sebagainya.
Dan perjuangan dalam merebut kepentingan ini seringkali bertabrakan dengan
kepentingan pihak lain yang kemudian menjadi konflik.
Faktor Primordial Sempit
Faktor pemicu primordial ini saya
harus sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Rektor Unhalu, bahwa kekacauan
di Kampus unhalu dikarenakan oleh pengaruh primordialisme sempit. Kampus Unhalu
memang menjadi daerah rawan dan rentan terhadap isu-isu yang menyangkut etnis
mengingat kampus Unhalu sebagai sebuah miniatur sultra. Didalam kampus unhalu
terbentuk kekerabatan kedaerahan yang kuat yang berangkat dari solidaritas
kesukuan yang tinggi.
Selain itu ada ego suku yang ingin
dikatakan besar dan kuasa ketika mereka berhasil merebut posisi-posisi
strategis dalam kampus. Persoalan siapa yang menguasai kampus, baik posisi rektor,
Senat mahasiswa dan lain sebagainya selalu dipersepsikan dengan etnis tertentu
dan ini yang terjadi selama ini. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh
efendi bahwa pada masyarakat multi etnis, pihak yang diuntungkan dan
dirugikan selalu di identifikasikan, baik sebagai kenyataan maupun di
persepsikan dengan kelompok etnis tertentu.
Dominasi Etnis Atas Etnis Tertentu
Konflik juga bisa
disebabkan oleh dominasi kelompok etnis tertentu atas etnis yang lain, dominasi
ini sering dipersepsikan secara negatif oleh etnis yang lain. Daerah yang
struktur sosialnya terdiri atas multi etnis sistim dominasi ini sering terjadi.
Dominasi ini tidak lepas dari fakta hubungan kekuasaan dalam sistem sosial, dan
sifat kekuasaan adalah mendominasi dan diperebutkan. Fakta ini sering
menciptakan masalah yang selalu muncul. Pada kondisi dominasi struktural,
kelompok yang berada dalam struktur dengan berbagai perangkat wewenang mampu mengarahkan
berbagai bentuk kebijakan pada pada orang lain di luar struktur . Ketika
dominasi diciptakan dari kondisi semacam ini akan selalu dipersepsikan oleh
kelompok lain sebagai tindakan menguasai dan menundukan. Sistem dominasi ini pada tataran
mahasiswa terletak pada siapa yang mampu merebut posisi tertinggi dalam hal ini
jabatan tertinggi mahasiswa. Ketika sebuah etnis mampu merebut posisi ini maka
dengan sendirinya ikelompok etnis yang lain akan merasa bahwa mereka dalam
kelompok yang dikuasai.
Apa yang tertulis dalam catatan
ini, hanyalah pendapat pribadi.