Lama tidak mengisi blog ini dengan
catatan, sedikit goresan sekedar menyeka debu blog yang selama ini tidak
tersentuh. Catatan kali ini sekedar merefresh pikiran, untuk itu saya hanya
akan menafsirkan sebuah syair dari “NIGHTWISH”.
Ditengah malam buta disaat musim
dingin yang naas dengan salju yang perlahan berguguran mencium bibir bumi,
masyarakat dihebohkan oleh sebuah berita, kalau ditempat mereka telah terjadi
perampokan. Seorang pria dituduh kalau dia telah melakukan perampokan. Tanpa
mendengar alasan sedikitpun dia digelandang menuju kantor polisi, dimana dalam
kasus ini azas praduga tidak bersalah sangat dikesampingkan. Para penangkap
dengan gagahnya mengatakan bahwa tanpa alibi mereka sudah bisa memenjarakan pria yang dituduh merlakukan perampokan. Dia menjadi korban penahanan tanpa bukti dan alasan yang kuat, Prasangka dianggap sebuah
instrumen yang tepat untuk menentukan sebuah vonis.
Banyak orang yang sebenarnya paham
dengan apa yang tengah mereka alami, mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan
aniaya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena adanya kekuatan dan
tekanan dibalik penangkapan mereka. Dalam kasus ini seorang pria telah dianiaya
dan membuat dirinya diasingkan diatas sebuah bukit yang jauh. Dia disekap dalam
sebuah penjara dimana selama 10 tahun dia akan menghitung tanpa lelah menunggu
fajar kebebasan.
Dia tahu bahwa aniaya yang telah
memenjarakan dia telah mengorbankan kasih sayangnya namun dia tidak memiliki
kekuatan untuk melawan. Walaupun jantungnya menggelora ingin melawan namun
mereda ketika sadar bahwa hasrat perlawanan hanya akan membuat keadaan dia
lebih buruk. Dia harus menahan air mata amarah yang menggenang dan mengaburkan
pandangan dia hanya karena kebenaran tidak berpihak.
Dalam penjara pengasingan berjeruji disebelah perbukitan
yang jauh dia hanya bisa memandang dan berdoa, bahwa dia akan kembali
suatu hari nanti sebagaimana sungai mencapai laut, dan dia berkata bahwa bila
saatnya nanti dia akan kembali dalam pelukan indah kebebasan dan jika saat itu
telah tiba maka cahaya harapan akan menangisi kebebasannya.
Malang, 20 Desember 2011