Ketika seorang aktor berhasil
memenangkan kompetisi pertarungan dalam proses pemilihan kepala daerah maka hal
pertama yang dilakukan pasca kemenangan adalah pembentukan rezim dibawah
pemerintah berkuasa. Pembentukan rezim ini tentu dilakukan dengan merekrut
orang-orang birokrat untuk diposisikan pada bagian tertentu dalam rezim yang
akan dibentuk. Pembentukan rezim ini tentu mengharuskan untuk merekrut
orang-orang yang menjadi kawan dalam proses perebutan kekuasaan. Penempatan
yang direkrut berdasarkan kesepahaman dalam perjuangan maupun dalam mendukung
calon yang sama tentu mereka akan menggeser posisi pendahulu mereka yang
dukungannya kalah dalam proses pertarungan.
Posisi pegawai negeri dalam proses
pemilihan kepala daerah seolah sebuah bencana dan akan benar-benar menjadi
bencana ketika mereka diharuskan untuk mendukung calon incumbent yang dalam
kalkulasi politik peluang untuk memenangkan pertarungan sangat kecil. Sementara
pada sisi lain posisi incumbet berhak untuk memaksa dan mempolitisasi birokrasi
agar menjatuhkan dukungan dan pilihan mereka pada calon incumbent. Sebagai
atasan tentu posisi incumbent dengan senjata jabatan dan mutasi tentu akan
sangat efektif untuk menekan posisi birokrat untuk tunduk pada keinginannya.
Selain itu doktrin untuk selalu taat dan tunduk pada perintah atasan tentu
menjadi alat yang ampuh bagi posisi incumbent untuk memberikan tekanan-tekanan pada birokrasi.
Ketika ketaatan dan
ketundukan pada pimpinan menjadi senjata dalam mempolitiisir birokrasi pada sebuah
pemilihan, maka tidak ada pilihan lain bagi birokrat untuk melibatkan diri
membantu dan menyukseskan calon incumbent agar menduduki kembali kursi
kekuasaan yang kedua kali. Ketidak siapan birokrat dalam mendukung calon
incumbent maka pilihan hanya satu non job buat mereka. Pada titik ini birokrasi
benar-benar menjadi galau, antara mempertahankan netralitas mereka dalam
birokrasi dengan mempertahankan posisi dan jabatan yang mereka sebagai elit
dalam pemerintahan.
Malang, 18 Mei 2012