Malam ini untuk ke dua kalinya saya terbangun pada jam yang sama sambil menikmati hal yang sama. Sebuah pemandangan yang meneduhkan hati, tenang, hening, hingga hidup ini terasa begitu nikmat. Untuk sesaat bayangan kesibukan yang membuatku lelah, yang membuatku sering mual bahkan kadang sampai muntah, untuk malam ini lenyap seolah saya berada dalam kehidupan baru yang memberi warna kehidupan yang sangat berarti. Warna kehidupan yang akan kutorehkan dalam sekat rongga kenangan yang suatu hari dalam sebuah masa yang entah kapan, yang pasti hal itu akan menggemuruh dalam dada saya bahwa saya pernah mengukir suka duka kehidupan di kota ini.
Begitu heningnya malam ini sampai gemericik suara aliran sungai brantas melambungkan pikiran khayal saya pada kehidupan sebuah masa yang jauh dari generasi hari ini. Sebuah kehidupan jawa kuno yang tenang, sepi, hening dan tanpa suara deru kendaraan. Sebuah kehidupan yang mengantarkan masyarakatnya pada puncak kehidupan yang membahagiakan, kehidupan yang mengantarkan para resi larut dalam tapa kehidupan. Sebuah kehidupan yang sangat bersahaja dimana tatanan kemasyarakatan dan budaya saat itu masih dipegang teguh dan di junjung oleh masyarakat. Sebuah kehidupan dimana nilai-nilai kemanusiaan masih merupakan keutamaan, kesantunan dalam bertutur kata masih di tonjolkan, keindahan dalam berperilaku masih merupakan sebuah tontonan yang mengasyikan dan melahirkan simpati dan empati bagi siapapun.
Membandingkan dengan realitas yang ada saat ini berbeda jauh dengan kehidupan jawa kuno, siapapun merasa miris melihat realitas sekarang. Dimana budaya hari ini sebatas kebanggaan bahwa disuatu masa yang jauh di belakang, bangsaku merupakan bangsa yang pernah berjaya, dulu bangsaku adalah bangsa yang pernah mencapai puncak budaya tertinggi di nusantara. Tapi disuatu masa yang akan datang kebanggaan akan budaya itu akan hilang dengan sendirinya. Pengaruh gaya kehidupan metropolitan telah menyusup kedalam kehidupan masyarakat dan mengganti tatanan kehidupan yang ada dengan budaya westernisasi yang sangat di elu-elukan generasi saat ini. Saya sangat yakin kalau secara perlahan dan pasti tatanan budaya kreasi leluhur masa lalu itu akan runtuh dalam jarak dan waktu tertentu dan hanya akan menyisakan serpihan kisah dalam sejarah.
Dari teras lantai tiga depan kamar kostku dibawa bayangan rembulan paruh purnama samar-samar kutatap gunung arjuno dan semeru dengan gagahnya menjulang tinggi seolah menatap apapun dibawahnya dengan tatapan keangkuhan, namun Teduhnya cahaya rembulan, heningnya malam, merdunya alunan musik alam mampu meluruhkan keangkuhan itu menjadi sebuah kharisma keagungan yang memancarkan keyakinan dalam diri siapapun bahwa suatu saat dalam pengembaraan kehidupan ini kita harus menjadi lebih kuat, lebih kokoh dalam bersikap, lebih tegar dalam menghadapi setiap persoalan yang di hadapi. Saya tidak bisa membayangkan seandainya kedua gunung itu murka dan memuntahkan lahar panasnya, sebagaimana gunung tambora yang meletus di tahun 1800 dan mengubur sebuah peradaban manusia terbesar yang pernah ada di negeri ini.
Malam terus merangkak dengan pelan, tenang, dingin dan hening, hingga tanpa terasa sudah masuk waktu subuh sehingga catatan yang belum tuntas ini harus berakhir disini.
Istana kediaman gang V/250, 1 mei 2010.