Selamat Datang

Mencoba Melukis Makna Dalam Deretan Aksara

Selasa, 14 Februari 2012

Adakah Tempat Buat Kaum Miskin

Seandainya semua orang diberikan pilihan tentang hidup yang diinginkan tentu mereka akan memilih hidup yang berkecukupan. Dan mungkin tidak ada orang yang mau memilih hidup dalam kemiskinan. Keinginan untuk hidup senang sudah menjadi kodrat manusia dan ini merupakan bakat bawaan setiap manusia sejak lahir. Tanpa belajarpun kesenangan ini semua orang mampu menjalani sesuai dengan senang menurut mereka sendiri-sendiri. Siapapun dia baik, bayi, sampai orang tua sekalipun tau menentukan pilihan apa yang tepat dan nyaman bagi dirinya. Keinginan untuk senang, bahagia dan nyaman inilah kemudian yang menuntun setiap orang untuk memperjuangkan dan merebut kesempatan dan peluang yang bisa mengantarkan pada rasa nyaman yang mereka inginkan. Namun seringkali dalam upayanya merebut rasa nyamannya sendiri, mereka cenderung egois, rakus dan tidak peduli dengan orang lain.

Kerakusan dalam merebut untuk mendapatkan keinginan mereka inilah kemudian yang menjatuhkan kehidupan orang lain kedalam jurang kemiskinan dan kemelaratan. Proses pengejaran nilai materi yang berlebihan telah menciptakan kesenjangan yang mempolarisasi kehidupan yang merisaukan antara yang kaya dengan mereka yang miskin. Mereka yang telah meraup nilai materi terbanyak semakin rakus dalam merebut materi-materi yang lain tanpa peduli dengan orang lain yang hidup dalam kemelaratan. Kenikmatan yang telah dirasakan oleh mereka yang hidup bergelimang kemewahan bukannya membuat mereka sadar tapi kenikmatan yang mereka rasakan telah menjerumuskan mereka untuk terus mempertahankan citarasa nikmat yang telah mereka reguk, bahkan berbagi dengan orang lainpun enggan. Kerakusan dan ketidak pedulian atas hidup orang lain seolah sebuah linsensi yang menyebabkan lahirnya pemukiman kumuh maupun maraknya gelandangan dan pengemis.

Kehidupan modern bukanlah sebuah harapan yang mampu menjembatani kesenjangan kehidupan antara kaum kaya dengan mereka yang miskin. Kehidupan modern yang dijalani hari ini tidak lebih dari hasil rekayasa sosial yang semakin memperlebar jurang pemisah status sosial masyarakat. Kemajuan peradaban yang dicapai mengantarkan kehidupan pada penemuan berbagai jenis mesin yang mempermudah dan sangat membantu. Kehadiran mesin-mesin ini kemudian menggeser peran manusia. Contoh sederhana adalah banyaknya pekerjaan yang dulu menjadi mata pencaharian namun saat itu peran tersebut sudah tergantikan oleh mesin. Maraknya penemuan dalam bidang teknologi membuat peran pemijat telah diperankan oleh mesin. Banyaknya mesin pijat yang dijual bebas telah menggantikan peran pemijat tradisional, tentu ini tidak berlaku bagi pijat plus-plus karna sampai kapanpun peran ini tidak akan tergantikan oleh mesin. Penyerahan sebagian wewenang kepada mesin akan mematikan sumber pendapatan sebagian orang.

Merajalelanya kehidupan kaum miskin dan pengemis ini diperparah oleh tidak adanya niat baik dari pemerintah. Kemiskinan seolah tidak mendapat tempat yang layak bagi pemerintah, komunitas kaum miskin dan kehidupan pengemis seolah sampah yang mengotori keindahan kota. Sehingga kerap kali pemerintah melakukan penggusuran rumah yang ditempati oleh kaum miskin. Dengan dalih menjaga keindahan kota pemerintah membatasi dan menentukan kendaraan yang lewat pada kawasan tertentu. Masyarakat miskin yang hidup dengan mengandalkan pencaharian yang bersumber dari pendapatan menarik becak dirugikan dengan pembatasan seperti ini. Jalanan seolah milik mereka yang memiliki kendaraan mewah bermerek. Sebagi upaya membuat kotanya dipuji sebagai kota yang maju, pemerintah memberlakukan kawasan tertib berlalulintas. Kawasan ini adalah zona merah bagi Pengemis dan pengamen, mereka disapu bersih dari kawasan ini. Bagi mereka yang berani masuk pada zona merah ini, sanksinya sangat tegas, hukuman kurungan dan denda berat. Pemerintah dengan beringas mengobrak abrik sampai tidak berdaya dan bangkit lagi usaha dan pemukiman orang miskin. Untuk menakut-nakuti kaum miskin, pemerintah merekrut polisi pamong praja dimana kebanyakan polisi pamong praja ini dulunya adalah penghuni gang yang berpengalaman dengan dunia kekerasan. Polisi pamong praja ini kemudian dipercanggih dan dipersenjatai, mereka disiapkan sebagai pasukan khusus membantai kaum miskin.

Dimanapun kehidupan kaum miskin selalu menjadi sorotan, komunitas hunian mereka semakin terpinggirkan dalam kehidupan modern. Perencanaan perkotaan dibuat hanya untuk kenyamanan bagi mereka yang memiliki taraf hidup menengah keatas, sementara kaum miskin tidak pernah diberi ruang untuk menempati dan mengambil bagian sebagai penghuni kota. Lantas siapakah yang harus disalahkan dengan kesenjangan sosial yang terjadi saat ini. Apakah konsep negara yang kehadirannya untuk memberikan rasa aman, nyaman dan menyejahterakan masyarakat tidak cukup ampuh lagi. Ataukah kita harus menyalahkan pemerintah yang  diberi kewenangan untuk mengelola negara dan menjalankan konsep negara telah salah dalam mengelola negara. Ataukah negara sebagai leviathan sebagaimana yang dimaksud oleh Hobbes yang kehadirannya untuk menjamin manusia agar menaati aturan main dalam masyarakat hanya barlaku bagi orang miskin.



Malang, 14 Februari 2012