Selamat Datang

Mencoba Melukis Makna Dalam Deretan Aksara

Jumat, 15 Juli 2011

Konflik Sosial



Konflik adalah sesuatu yang tidak terelakan dalam kehidupan social, sebagaimana yang dijelakskan oleh pandangan hubungan manusia, bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakan dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok (Robbins:2006:546). Pandangan hubungan manusia ini melihat konflik sebagai sesuatu yang positif. Sedangkan Dahrendorf mengemukakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan consensus). Disini Dahrendorf dengan teoritisi konfliknya mengemukakan bahwa masyarakat disatukan oleh ketidak bebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu didalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan social ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi factor yang menentukan konflik social sistematis.

 Menurut Dahrendorf, sistem sosial terbentuk bukan oleh kerjasama sukarela atau pun oleh konsensus, tetapi oleh “ketidakbebasan dan dipaksakan” yang bersumber dari adanya distibusi otoritas. Ia berusaha untuk mendasarkan terorinya pada perspektif Marxis modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada otoritas yang ada dalam struktur social yang lebih luas. Dimana dia melihat bahwa dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Disini Dahrendorf melihat bahwa otoritas itu tidak terletak dalam diri individu tapi otoritas itu terletak dalam posisi. Lebih lanjut Dahrendorf menegaskan bahwa tugas utama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat.

Berbeda dengan Dahrendorf, teori konflik Randall Collins bersifat mikro dimana dia lebih menekankan pada analisis level kemasyarakatan, Collins mendekati konflik dari sudut pandang individu karena akar teoritisnya terletak pada fenomenologi dan etnometodologi. Collins menyadari bahwa sosiologi tidak akan berhasil hanya berdasarkan analisis tingkt mikro saja. Merujuk pada apa yang di kemukakan oleh Collins maka teori konflik tidak berarti apa-apa tanpa analisis pada teori makro. Collins memusatkan perhatiannya pada stratifikasi social karena stratifikasi social adalah institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan seperti kekayaan, politik, karir, keluarga, klub, komunitas, gaya hidup.

Berdasarkan pendekatan ini, Collins mengembangkan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan terhadap stratifikasi social, meski ia yakin bahwa ke lima prinsip itu dapat diterapkan di setiap bidang kehidupan social. Pertama, Collins yakin bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyataketimbang pada formulasi abstrak. Collins mendesak kita agar memikirkan manusia seperti binatang, dimana tindakannya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, yang terlihat sebagai muslihat untuk mencapai keuntungan sehingga mereka dapat mencapai kepuasan dan menghindarkan ketidak puasan. Collins juga mengakui bahwa manusia rentan terhadap tarikan emosional dalam upaya mereka mendapatkan kepuasan. Kedua Collins yakin bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi. Yang menjadi variable utama dalam hal ini adalah sumber daya yang dimiliki oleh actor yang berlainan, actor dengan sumber daya material yang banyak dapat menentang atau bahkan merubah hambatan material ini, sedangkan actor yang memiliki sumberdaya yang lebih sedikit akan bertindak berdasarkan keadaan material mereka. Ketiga, Collins menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumberdayanya terbatas. Dalam proses itu mereka mungkin akan mengambil keuntungan dari pihak yang sumber dayanya terbatas. Keempat, Collins menginginkan teoritisi konflik melihat melihat fenomena kultural seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan. Ada kemungkinan bahwa kelompok dengan sumber daya dan berkuasa dapat memaksakan system gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai system gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. Kelima, Collins membuat komitmen tegas untuk melakukan studi ilmiah tentang stratifikasi dalam setiap aspek kehidupan social lainnya. Yang akhirnya sosiolog harus mencari penyebab fenomena social terutama berbagai penyebab setiap bentuk perilaku social.



Malang, 15 Juli 2011
Gang 19 Kav.7/7